Maling Motor Dibunuh Massa
ilustrasi pencurian sepeda motor.--
Masyarakat kita sekarang (entah karena dikompori atau dibayar politikus atau tidak) gemar meneriakkan kata ”demokrasi” ketika bertindak ”keras”. Misalnya, demo yang berakibat rusuh. Atau, orang yang menghina presiden RI. Atau, tokoh yang menyarankan tindakan revolusi. Mereka merasa bebas bicara atas nama demokrasi meski pernyataan itu berpotensi chaos.
Dikutip dari file Perpustakaan Lemhannas RI, halaman 14, Wakil Presiden RI Boediono ketika masih menjabat mengatakan, negara akan mampu menerapkan demokrasi dengan baik jika pendapatan per kapita minimal USD 6.000. Sedangkan saat ini (waktu itu, Boediono menjabat wapres 2009–2014) pendapatan per kapita Indonesia USD 3.000. Jauh dari layak jika Indonesia disebut negara demokratis.
Kini, berdasar data Badan Pusat Statistik, pada 2023 pendapatan per kapita Indonesia masih juga jauh dari standar minimal yang disebutkan Boediono itu.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti kepada pers, 10 Februari 2024, mengatakan, ”Pendapatan per kapita kita pada 2023 tercatat USD 4.919.”
Mengapa kasus pembunuhan maling motor di Kampung Kukun yang tradisional bisa ngelantur sampai pendapatan per kapita segala? Kronologinya begini:
Pendapatan per kapita adalah ukuran jumlah uang yang diperoleh per orang per tahun di suatu negara. Pendapatan per kapita yang dikatakan Boediono, minimal USD 6.000 (nilai kurs sekarang setara Rp 93,22 juta) itu berarti pendapatan per orang rata-rata per bulan Rp 7,76 juta. Dengan pendapatan rata-rata semua orang segitu, Indonesia jauh lebih makmur daripada sekarang.
Kemakmuran masyarakat terkait erat dengan tingkat pendidikan. Makin makmur, tingkat pendidikan makin tinggi. Dengan demikian, masyarakat berpendidikan tinggi mampu memaknai kata demokrasi dengan kondisi semestinya, seperti di negara-negara Barat yang kaya, sebagai asal kata demokrasi.
Kemakmuran masyarakat membuat masyarakat tidak terlalu emosional seandainya kehilangan motor (simak ucapan orang yang membunuh maling Reza di atas). Kemakmuran juga memperkecil jumlah maling motor karena semua orang sudah makmur (Bapak Kriminologi Internasional Cesare Lombroso, 1835–1909, mengatakan, kemiskinan adalah ibu dari kejahatan).
Jadi, ya… beginilah kondisi masyarakat kita sekarang. Dari sisi hukum, pengadilan jalanan itu pasti menimbulkan efek jera buat calon pelaku kejahatan, fokus ke maling motor. Calon maling takut.
Dari sudut pandang HAM, penghakiman massa di kasus itu melanggar HAM berat. Pembunuhan. Kini tinggal pilih yang mana? Sisi hukum atau HAM? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: