Deklarasi Kazan: Rivalitas Hegemoni Ekonomi BRICS versus G-7?
ILUSTRASI Deklarasi Kazan: Rivalitas Hegemoni Ekonomi BRICS versus G-7?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Terdapat sejumlah perbedaan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari laporan terakhir IMF pada enam bulan lalu. Salah satu yang paling kentara adalah terdapat peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dalam lima tahun mendatang dari negara-negara BRICS.
Berdasar perhitungan itu pula, kontribusi ekonomi dari negara-negara maju di kelompok G-7 seperti AS, Jerman, dan Jepang diprediksi IMF justru akan menurun.
PELUANG INDONESIA
Bergabungnya Indonesia dalam KTT BRICS di Kazan menandai awal legasi kepemimpinan Prabowo Subianto dalam percaturan ekonomi dan politik dunia. Indonesia semestinya melihat momen itu sebagai peluang untuk mewujudkan kepentingannya sekaligus menghindari potensi konflik dengan Barat.
Namun, Indonesia seharusnya tetap mewaspadai terhadap dorongan strategis dalam BRICS, seperti usulannya untuk mata uang bersama perdagangan intra-BRICS, yang menurut pandangan Barat, secara implisit, bisa dianggap sebagai bentuk tantangan langsung terhadap AS.
Sebaliknya, momentum itu juga bisa menjadi bagian dari keanggotaan formal untuk memanfaatkan pengaruh atau keuntungan dari dinamika kelompok seperti BRICS. Kelompok itu memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi dan geopolitik global.
Karena itu, Indonesia sebagai negara nonblok yang memiliki pengaruh signifikan dalam percaturan ekonomi dan politik di Asia Tenggara seyogianya cerdik memainkan peran diplomasi dalam konstelasi politik dan ekonomi yang kian dinamis.
Terdapat sejumlah dampak positif bergabungnya Indonesia dalam kaukus ekonomi BRICS yang diprakarsai Rusia itu.
Pertama, Indonesia bisa melepaskan diri dari segmen pasar ekspornya yang tradisional, yakni AS dan Eropa. Dengan diakuinya Indonesia sebagai anggota kaukus BRICS, potensi berkembangnya pasar tujuan ekspor yang lebih luas akan makin terbuka di kawasan negara-negara anggota BRICS.
Mengingat, beberapa tahun belakangan ini Indonesia terlibat perselisihan dagang dengan Eropa. Terlebih, saat ini anggota BRICS tidak hanya terdiri atas lima negara, tetapi juga negara-negara Timur Tengah sudah mulai bergabung ke koalisi. Dengan demikian, potensi tujuan ekspor ke Timur Tengah makin terbuka lebar.
Kedua, potensi untuk melakukan diversifikasi tujuan ekspor Indonesia ke pasar ekspor negara-negara anggota BRICS terbuka lebar. Faktor itu bisa menjadikan Indonesia mempertimbangkan peninjauan kembali pasar Eropa yang cenderung kian protektif terhadap produk-produk ekspor Indonesia.
Ketiga, data WTO menunjukkan bahwa proporsi ekonomi negara-negara BRICS mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada 1990, proporsi ekonomi negara-negara kawasan BRICS hanya mencakup 15,66 persen. Namun, pada 2022, proporsinya telah melonjak mencapai 32 persen.
Artinya, geliat pertumbuhan ekonomi negara kaukus selalu berkembang ke arah positif. Itu merupakan peluang sangat bagus bagi Indonesia untuk terlibat di dalam geliat pertumbuhan tersebut.
Keempat, Indonesia berpotensi besar memiliki andil terhadap dinamika pergerakan tatanan ekonomi baru bersifat aglomeratif di kawasan BRICS. Dengan demikian, itu sekaligus secara politis akan kian mengokohkan posisi Indonesia dalam percaturan politik global sebagai pengejawantahan politik luar negeri yang bebas aktif. (*)
*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship, & Leadership dan kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: