Sudut Pandang Encoding Decoding Stuart Hall: Unggahan Omakase Erina Gudono dan Respons Netizen

Sudut Pandang Encoding Decoding Stuart Hall: Unggahan Omakase Erina Gudono dan Respons Netizen

ILUSTRASI Sudut Pandang Encoding Decoding Stuart Hall: Unggahan Omakase Erina Gudono dan Respons Netizen -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

KETIKA Erina Gudono mengunggah di instastory-nya tentang hadiah omakase susyi dari sang suami, unggahannya tampak sebagai unggahan seorang ibu baru yang ingin berbagi kebahagiaan kepada dunia. 

Lagi pula, perempuan mana yang tidak ”meleleh” jika setelah melahirkan, suaminya membawa layanan omakase dari restoran Jepang mewah ke rumah sakit untuk menyenangkan dirinya. 

Namun, Erina mungkin tidak menduga bahwa dari unggahan tersebut, dia mendapatkan beragam respons pro dan kontra dari netizen. 

Dalam konteks encoding decoding yang dicetuskan Stuart Hall (1980), unggahan omakase Erina adalah hasil dari proses encoding berupa pesan media. Pesan tersebut diolah Erina sebagai produsen pesan (encoder) yang diteruskan kepada audiens sebagai penerima pesan (decoder).  

BACA JUGA:Mengenal Omakase, Paket Makanan Mahal yang Dipamerkan Erina Gudono Usai Melahirkan

BACA JUGA:Kaesang dan Erina Umumkan Kelahiran Putri Pertama, Diberi Nama Bebingah Sang Tansahayu

Audiens yang dimaksud di sini adalah tidak hanya pengikut Instagram Erina saja, tetapi juga audiens secara luas, yaitu netizen. 

Ketika mengolah pesan, Erina menggunakan kode-kode budaya yang sudah dipahami bersama, yaitu berupa gambar, simbol, bahasa, atau gaya tertentu supaya audiens bisa memahami maksud unggahannya. Hasilnya, kita bisa melihat unggahan instastory Erina yang menggunakan bentuk visual dan verbal. 

Kode budaya berupa visual maupun verbal yang digunakan Erina memang bekerja untuk membuat netizen memahami unggahannya. 

BACA JUGA:Kuasa Hukum Ungkap Kronologi Kaesang-Erina Naik Jet Pribadi ke AS

BACA JUGA:Netizen Komentari Unggahan Erina Gudono karena Salah Tulis Trimester Ketiga Jadi 3rd Semester Pregnant

Namun, jangan lupa bahwa kode budaya itu memiliki level makna yang berbeda. 

Dalam istilah Barthes (Barthes dalam Hall, 1980:169), ada makna denotasi (makna secara literal, terlihat apa adanya) dan makna konotasi, yaitu makna yang menghasilkan interpretasi berbeda-beda, bergantung pengetahuan, pengalaman, dan latar belakang budaya individu yang memaknainya. 

Untuk lebih jelasnya, Barthes memberikan contoh sebuah benda, yaitu sweter. Sweter selalu menandakan ’sebuah pakaian hangat’ (denotasi) yang berfungsi dan sekaligus memiliki nilai ’menjaga kehangatan’. Namun, juga memungkinkan bila sweter menandakan ’datangnya musim dingin’ atau ’hari yang dingin’ di level konotasi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: