Budaya Minta Restu, Masih Mujarabkah?
Opini Yayan Sakti Suryandaru dan Ni Luh Dea Novita Dewi: Budaya Minta Restu, Masih Mujarabkah?-Salman Muhiddin-Harian Disway
Baru-baru ini kita menyaksikan peristiwa yang mengejutkan. Ridwan Kamil (RK), calon gubernur Jakarta, bergerak cepat menemui Prabowo di kawasan Sabang Jakarta Pusat. Setelah itu, ia menemui Jokowi di Solo.
PASCA bertemu RK, Prabowo juga terlihat menemui Jokowi dan Iriana. Intinya, RK dan Prabowo memohon restu pada Jokowi. Budaya memohon restu itu, sudah lama diterapkan di negara ini. Biasanya hal tersebut dipraktikkan oleh calon pemimpin atau pemimpin baru terhadap seniornya.
Ada yang menyebut hal tersebut sebagai budaya meminta restu. Ada juga yang menganggap sebagai simbol untuk meminta dukungan pada mantan pemimpin yang masih punya pendukung.
RK yakin, Jokowi masih eksis dengan ProJo-nya (Pro-Jokowi). Apalagi, Prabowo sangat sukses dalam mendapatkan 58,59 persen dukungan. Mana tujuan utama pertemuan itu? Hanya mereka berdua yang paham.
Apakah tradisi memohon doa restu itu masih berlaku di Indonesia? Atau sudah lama dijalankan oleh calon pemimpin juga masih dilestarikan hingga kini?
BACA JUGA:Dies Natalis Ke-70 Universitas Airlangga: Tantangan ke Depan
BACA JUGA:Pesan Bung Karno kepada Universitas Airlangga
Di era milenial sekarang, kebiasaan tersebut kerap dijalankan oleh semua lapisan. Terutama untuk menunjukkan kedekatan dengan mantan pemimpin sebelumnya. Hal itu terutama untuk mendapatkan ’’tuah kepemimpinan’’ mantan pembesar. Menjadi pertanyaan, jika begitu, masih efektifkah budaya itu?
Asal Muasal Hingga Kini
Awal mula kebiasaan memohon di dunia politik praktis sudah lama dijalankan di negeri ini. Ketika seseorang mau menduduki tampuk kepemimpinan baru, ia berusaha mencari restu dari yang ’’pintar’’.
Bisa berasal dari kyai, ustad sepuh, pemimpin agama, pemimpin partai, atau mantan raja berpengaruh. Di masa sekarang, mantan pemimpin dianggap orang pintar, ditambah lagi dengan faktor para pendukungnya masih eksis, meski dia tidak menjabat lagi.
Budaya minta restu memang sudah dibangun jauh sebelum adanya pemilu atau pilkada langsung di Indonesia. Hal itu berkembang dari kepercayaan adat masyarakat yang menganggap izin dari orang yang dituakan, yang sudah melakukan hal yang sama sebelumnya, akan membantu mereka sukses mencapai tujuan mereka.
Di sisi lain, juga menjadi bentuk kesiapan yang muda untuk mendengarkan yang tua, sehingga dapat belajar dari pengalaman yang tua.
Mengingat lamanya tonggak budaya ini, maka tak ayal seluruh lapisan kegiatan masyarakat Indonesia didasari oleh budaya minta restu.
Awalnya dari anak-anak meminta restu orang tua, lalu siswa meminta restu guru mereka, menjadi bawahan yang minta restu mantan atasan untuk menggantikannya, hingga masuk ke ranah pemerintahan ketika calon bupati meminta restu mantan bupati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: