Budaya Minta Restu, Masih Mujarabkah?
Opini Yayan Sakti Suryandaru dan Ni Luh Dea Novita Dewi: Budaya Minta Restu, Masih Mujarabkah?-Salman Muhiddin-Harian Disway
Lantas menaiki tangga satu per-satu jabatan hingga presiden ke mantan presiden.
Akhirnya budaya minta restu dikenal lekat dengan izin juga dukungan pendahulunya untuk orang yang ingin melanjutkan kepemimpinannya.
Itulah sekelumit sejarah asal muasal budaya mohon doa restu. Biasanya berlaku dari golongan muda ke yang lebih tua. Bukan persoalan umur, tetapi lebih ke pengalamannya.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana praktik itu dijalankan di era serba digital? Apakah masih diperlukan budaya junior menemui senior secara langsung? Atau cukup via telepon genggam yang dimilikinya?
Atau melalui sebuah tautan (link) yang disepakati bersama? Karena dari yang dibahas, budaya minta restu hanya representasi dari esensi ’’dukungan’’ pendahulunya, bukan bagaimana cara mewujudkannya.
Pada perkembangan teknologi saat ini, pertemuan tatap muka tidak harus face-to-face. Bisa saja kegiatan minta restu menggunakan video call, video conference, atau chat. Apalagi saat ini sudah ada kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Apa yang dilakukan oleh Israel, misalnya. Negara itu bisa membombardir Palestina lewat AI berupa drone. Tidak perlu menggunakan alat mesin perang berat dan besar. Pesawat tersebut digerakkan lewat alat kontrol yang jauh (remote).
BACA JUGA:Keputusan Negara Bisa Berubah karena Kekuatan Media Digital
BACA JUGA:Kemenangan Donald Trump dan Implikasinya bagi Indonesia
Bisa jadi, di masa depan nanti, pertemuan minta restu bisa menggunakan AI untuk mewakili dirinya. Kendati, tetap saja ada yang dilewatkan.
Kurangnya ’’kehadiran’’ langsung di pertemuan itu tidak merepresentasikan kedekatan orang itu dengan yang ditemuinya. Ibaratnya seperti robot, pertemuan tersebut tidak melibatkan emosi di dalamnya.
Agenda ke Depan
Memang tidak salah pada budaya minta restu itu. Tetapi untuk era sekarang, bisa sangat beragam interpretasinya. Bisa jadi dimaknai bahwa orang tersebut tidak percaya diri. Mereka terkesan meminta dukungan terhadap pihak lain sebelumnya.
Atau untuk menambah dukungan, dia meminta restu pada mantan pemimpin yang terbukti memiliki sebagian pendukung. Jadi, apa yang harus dilakukan ke depan?
Pertama, budaya itu tetap bisa dilestarikan sepanjang tidak bersifat semu (artificial). Artinya, dukungan tidak didapatkan, hanya simbol seseorang dekat dengan yang orang yang dimintai restu.
Kedua, kompetensi seseorang calon pemimpin lebih ditentukan oleh program yang dikemas dibandingkan dengan dukungan dari pemimpin sebelumnya. Seorang calon pemimpin pasti sudah bisa mengukur potensi dirinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: