Pentingnya Klirens Etik bagi Para Peneliti Sosial Humaniora

Pentingnya Klirens Etik bagi Para Peneliti Sosial Humaniora

ILUSTRASI Pentingnya Klirens Etik bagi Para Peneliti Sosial Humaniora-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Yaitu, ”the moral integrity of the researcher is critically important aspect of ensuring that the research process and a researcher’s findings are trust worthy and valid”.

Artinya, sebuah penelitian membutuhkan integritas moral dari peneliti dan hal itu merupakan aspek penting dalam sebuah penelitian yang akan melindungi, baik peserta penelitian maupun pelaku penelitian, serta menjamin validitas hasil dari sebuah penelitian. 

Klirens etik itu juga diatur dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Peraturan BRIN No 22 Tahun 2022 tentang Klirens Etik Riset.

Untuk itu, Badan Pertimbangan Fakultas (BPF) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga yang diketuai Prof Diah Ariani Arimbi pada 2023 dengan sigap menyikapi hal tersebut dan segera membentuk tim penyusun panduan klirens etik penelitian sosial humaniora FIB. 

Akhirnya, pada Mei 2024, panduan klirens etik penelitian sosial humaniora disahkan Rektor Universitas Airlangga Prof Mohammad Nasih  dan dilanjutkan dengan pembentukan Komisi Etik Penelitian (KEP) FIB pada Juni 2024 yang diangkat oleh Prof Purnawan Basundoro selaku dekan FIB. 

Adapun susunan pengurus KEP FIB adalah sebagai berikut; Noerhayati Ika Putri (ketua), Dewi Meyrasyawati (sekretaris), dan tiga anggota, yaitu Abimardha Kurniawan, Antonius R. Pujo Purnomo, dan Samidi.

Klirens etik (ethical clearance) penelitian merupakan instrumen untuk mengukur keberterimaan suatu proses penelitian secara etik yang meliputi proposal, desain, pengumpulan, dan analisis data serta diseminasi sebuah penelitian. 

Dengan demikian, klirens etik tersebut wajib dilakukan setiap peneliti sebelum pengumpulan data atau penelitian lapangannya dimulai.

Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, tujuan utama dari klirens etik adalah melindungi ”partisipan penelitian” dari bahaya berupa fisik (ancaman), psikis (tertekan atau penyesalan), sosial (stigma dan diasingkan dari masyarakat), dan konsekuensi hukum (dituntut) sebagai akibat turut berpartisipasi dalam suatu penelitian/riset. 

Dengan demikian, secara etik, suatu riset baru dapat dipertanggungjawabkan jika dilakukan dengan menghargai dan melindungi serta berlaku adil terhadap partisipan penelitian sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, di mana riset tersebut dilaksanakan.

Terdapat tiga prinsip dasar yang harus dipenuhi seorang peneliti sosial humaniora. Yaitu, menghormati individu dan komunitas, kemanfaatan, dan berkeadilan. 

Yang dimaksud dengan menghormati individu dan komunitas adalah sebagai berikut; menghargai hak dan kemampuan seseorang untuk memilih dan memutuskan sesuatu terkait diri sendiri; menjaga harga diri (dignity) individu dan komunitas; melindungi partisipan riset yang memiliki keterbatasan atau kerentanan dari eksploitasi dan bahaya; serta menghormati komunitas dan budaya lokal. 

Kewajiban untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan bahaya penelitian adalah prinsip dasar kedua yang harus dipenuhi. 

Dalam hal ini, artinya adalah partisipasi manusia dalam suatu penelitian sebaiknya tidak ”dilukai” (fisik, psikologis, sosial, dan hukum) dengan melindungi partisipan dari dampak negatif akibat berpartisipasi dalam riset. 

Sebaliknya, diwajibkan bagi peneliti bahwa hasil penelitiannya akan bermanfaat bagi komunitas di mana riset tersebut dilakukan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: