Menguak Epistemologi Judi Online (Judol)

Menguak Epistemologi Judi Online (Judol)

ILUSTRASI menguak epistemologi judi online (judol).-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Judi modern, terutama judol, membuat spekulasi itu jauh lebih berbahaya. Algoritma di balik permainan dirancang untuk memberikan fatamorgana kemenangan: sesekali pemain menang kecil, cukup untuk membuat mereka terus bertaruh. Namun, apakah kemudian menjadi kemenangan besar? 

Spekulasi yang tanpa dasar adalah gerbang awal menuju kerusakan yang lebih besar. Judi, dalam segala bentuknya, adalah eksploitasi dari gerbang itu, menyulut api kehancuran di balik kilauan keberuntungan yang menipu. Judi menawarkan satu hal: keberuntungan. Ia menjanjikan kekayaan instan tanpa kerja keras. 

Namun, dalam analisis epistemologi, judi tidak lebih dari manipulasi kepercayaan manusia terhadap probabilitas. Dalam judol, masalah itu menjadi lebih akut. Algoritma yang dirancang untuk menciptakan kecanduan menjadikan pemain tidak hanya bertaruh pada keberuntungan, tetapi juga melawan sistem yang tidak pernah berpihak kepada mereka.

Seorang pecandu judol mungkin berpikir bahwa keberuntungan akan datang setelah sekian kali kalah. Itulah paradoksnya: makin banyak kalah, makin yakin ia bahwa kemenangan sudah dekat. Namun, epistemologi itu rapuh. Kenyataannya, ia hanya mengulangi siklus kekalahan yang dirancang algoritma.

INDUKSI PENGETAHUAN 

Dalam kacamata epistemologi, judi adalah fenomena yang membongkar cara manusia memahami dan memercayai kenyataan. Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang membahas asal-usul, sifat, dan batasan pengetahuan, melihat judi bukan hanya sebagai permainan, tetapi juga sebagai manipulasi struktur pengetahuan manusia tentang kemungkinan dan kepastian. 

Dalam konteks ini, perjudian menjadi problem epistemologi karena ia menciptakan ilusi pengetahuan yang sebenarnya palsu.

Rene Descartes, filsuf besar abad ke-17 yang dijuluki Bapak Filsafat Modern, secara ironis pernah disebut sebagai seorang pejudi ulung –tidak di meja kartu, tetapi dalam ranah intelektual. 

Ia terkenal dengan metode keraguan radikalnya, yang mempersoalkan segala sesuatu hingga ia menemukan kebenaran mutlak dalam cogito ergo sum, ’aku berpikir, maka aku ada’. 

Descartes mencontohkan bagaimana pengetahuan sejati harus dibangun di atas dasar yang kokoh, bukan pada spekulasi atau dugaan. Namun, judi justru sebaliknya: ia mengaburkan antara keyakinan dan pengetahuan, menempatkan manusia pada posisi lemah dengan menggantungkan harapan pada kemungkinan semu.

Dalam judi, keyakinan terhadap keberuntungan sering dianggap sebagai pengetahuan. Pemain berpikir bahwa pola kekalahan berulang akan menghasilkan kemenangan. Namun, secara matematis, probabilitas tidak pernah berubah. Itulah yang disebut filsuf seperti David Hume sebagai ”problem induksi”. 

Dalam kasus judi, asumsi bahwa kemenangan akan datang berdasarkan pola masa lalu adalah kesalahan logika yang sama dengan mengharapkan matahari tidak terbit esok, hanya karena ia telah terbit setiap hari sebelumnya. Keyakinan seperti itu adalah bentuk pengetahuan palsu, yang pada akhirnya hanya memperdalam keterperangkapan dalam siklus judi.

Lebih jauh lagi, judi adalah manipulasi epistemologis dalam skala besar. Sistem perjudian modern, terutama judol, secara aktif mengeksploitasi keterbatasan manusia dalam memahami probabilitas. Algoritma di balik platform judi dirancang untuk menciptakan bias kognitif, seperti ilusi kontrol dan sunk cost fallacy –yang mana pemain merasa harus terus bertaruh untuk ”mengembalikan” apa yang telah hilang. 

Dengan cara itu, judi tidak hanya menjadi tantangan moral, tetapi juga penghancur kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan yang benar dan bertindak berdasar akal sehat.

Jika Descartes mengajari kita untuk meragukan semua yang tidak pasti demi menemukan kebenaran, judi justru melakukan sebaliknya: ia memanfaatkan keyakinan tanpa dasar untuk menjerat manusia ke dalam lingkaran ketidaktahuan yang menghancurkan. Dalam konteks epistemologi, judi adalah paradoks: ia menjanjikan pengetahuan tentang keberuntungan, tetapi dalam kenyataannya, hanya meninggalkan kehancuran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: