Preman Jalanan vs HAM

Preman Jalanan vs HAM

ILUSTRASI preman jalanan vs HAM.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Di sanalah banyak muncul Pak Ogah yang memanfaatkan situasi dengan memberikan aba-aba kepada para sopir untuk mundur. Untuk itu, Pak Ogah berharap imbalan uang.

Setelah IH mundur, kemudian maju, untuk menghindari mobil yang mogok, spion mobilnya menyenggol salah seorang Pak Ogah. Spontan Pak Ogah marah.

IH turun dari mobilnya dan minta maaf kepada pemuda yang tersenggol. Namun, terjadi cekcok. Kian lama kian sengit. Percekcokan itu membuat Pak Ogah lainnya berdatangan. Mereka langsung mengeroyok IH.

Saat IH dikeroyok, kaca mobil digedor-gedor Pak Ogah lainnya. Di dalam mobil ada istri IH yang kemudian keluar mobil. Dia juga minta maaf dan berteriak histeris saat melihat suami dikeroyok dipukuli Pak Ogah. 

Warga berdatangan melerai mereka. Tapi, IH sudah terluka di pelipis dan istrinya syok. Mereka lalu ke rumah sakit. Dokter memeriksa kandungan istri IH, dinyatakan berpotensi keguguran.

Oleh karena itu, semula IH yang sudah berdamai berubah pikiran melaporkan itu ke Polres Bogor. Laporan diproses, polisi memeriksa beberapa saksi. Akhirnya tiga Pak Ogah ditetapkan sebagai tersangka, ditahan, kecuali D yang kabur.

AKP Teguh: ”Tersangka yang masih belum tertangkap kami nyatakan buron. Diharapkan ia segera menyerahkan diri untuk diproses hukum.”

Para tersangka dijerat pasal berlapis: Pasal 170 dan 335 KUHP. Ancaman hukuman lima tahun penjara. Polisi mengimbau agar semua Pak Ogah tidak memaksa pengguna jalan memberikan uang. Jika memaksa, Pak Ogah bakal ditindak polisi. 

Premanisme di Indonesia pernah sangat meresahkan masyarakat. Puncak keganasan preman jalanan terjadi pada 1980-an. Saat itu masyarakat takut keluar rumah saat malam. 

Pembegalan sangat marak. Orang bisa dipalak (diperas) sewaktu-waktu di mana saja, kapan saja, termasuk siang hari. Hidup terasa tidak aman.

Pada 1982 dimulai penertiban preman. Baik terhadap geng preman maupun preman individu. Penertiban itu tidak diumumkan pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Tahu-tahu, banyak orang mati ditembak di tengah jalan yang korbannya ternyata preman.

Masyarakat secara umum senang. Sebab, waktu itu preman merajalela. Mereka menjuluki peristiwa itu sebagai penembakan misterius, disingkat petrus. Tapi, sebagian masyarakat menyatakan, itu melanggar HAM. Sebab, orang (meskipun preman) dibunuh tanpa proses pengadilan.

Presiden Soeharto tidak pernah mengatakan ada petrus. Tapi, ia juga tidak mencegah aparat ABRI menembak mati para penjahat.

Hasilnya, pada 1983, dicatat pihak LSM, antara lain LBH, sebanyak 532 orang tewas dan 367 orang di antaranya tewas karena luka tembak, diduga korban petrus.

Pada 1984 ada 107 tewas dan 1985 dicatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas karena ditembak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: