Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (1): Jejak Diplomasi dari Singapura ke Paris

I.G.A.K Satrya Wibawa (pojok bawah kiri) dalam launching program pentoring yang melibatkan profesional muda Indonesia yang bekerja di Singapura dengan mahasiswa Indonesia di Singapura.--I.G.A.K Satrya Wibawa
Perjalanan internasional saya dimulai di Singapura pada 2022. Bertugas hingga 2024, saya harus pindah ke Paris. Inilah jejak diplomasi saya itu.
Nama saya Satrya Wibawa. Nama panjang -yang memang panjang- I Gusti Agung Ketut Satrya Wibawa. Empat kata awal disingkat I.G.A.K. Karena itu ada yang memanggil IGAK. Meski sesungguhnya itu bukan nama saya. Tapi apa boleh buat. Saya tidak masalah.
Baru menjadi masalah jika panggilan itu digabung dengan ”Bang” yang disambung potongan kata dari nama saya Satrya, menjadi ”Bangsat”. Efeknya bisa luar biasa. Hehehe.
BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh I.G.A.K Satrya Wibawa (3): Belajar pada Sopir Bus
Balik ke nama, orang pasti tahu saya orang Bali. Tulen. Sebab ayah dan ibu saya memang asli Bali. Walaupun saya akui tidak bisa menari seperti banyak orang Bali umumnya. Tapi saya menyukai seni.
Namun, sebagai orang Bali saya malah manut pada filosofi Jawa yakni ”urip iku urup”. Kultur Jawa saya itu saya selami khususnya sejak menjadi orang Surabaya lantaran kuliah Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Angkatan 1994.
Filosofi inilah yang selalu saya jadikan pedoman, di mana pun saya berada. Sebisa mungkin. Maknanya mengena. Urip iku urup dalam bahasa Jawa berarti "hidup itu nyala".
Kanan atas kiri: Bersama paskibraka mahasiswa Indonesia di Singapora Institute of Management yang rutin membuat upacara tujuh belasan di kampus.--I.G.A.K Satrya Wibawa
Maknanya adalah bahwa hidup harus bermanfaat dan memberikan manfaat bagi orang lain di sekitarnya. Ibarat lilin yang menyala. Hidup tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk berkontribusi, berbagi, dan bersosialisasi. Demikianlah kira-kira yang saya inginkan.
Banyak sekali ruang yang memberikan kesempatan saya melakoni filosofi itu. Sebagai pengajar di kampus sendiri di Departemen Komunikasi Universitas Airlangga, misalnya, saya mengampu mata kuliah yang dalam bahasa saya, mata kuliah senang-senang, mata kuliah yang selain tentunya, harapan saya, membuat mahasiswa menyenangi itu, tentu juga saya senang melakukannya.
Alhasil, semua kegemaran saya mendapat wadah akademis: membuat dan menonton film, mendesain, menulis cerita, utak-atik teknologi digital terbaru. Tentu, sambil cangkruk seru di ruang-ruang komunitas film, sastra, teater. Tempat saya bisa belajar dari banyak kawan-kawan pintar dan pakar.
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (1): Gurihnya Merintis Jualan Tempe di Inggris
Dari dunia berbeda itu saya belajar. Dunia akademik mengajarkan saya bahwa kata-kata bisa menjembatani dunia, dan bahwa narasi—jika dirawat dengan kesadaran—bisa menjadi alat kebijakan yang halus, tapi kuat.
Ruang komunitas memberikan saya ruang untuk belajar dan berimajinasi tanpa batas sambil menemukan cerita-cerita seru tentang hal-hal baru yang membuat saya percaya bahwa hidup adalah perjalanan pembelajaran tanpa henti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: