Kepala BPOM RI Ingatkan Antisipasi Pandemi Senyap akibat Resistansi Antimikroba
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Taruna Ikrar.-BPOM RI-
Proses tersebut merupakan manifestasi nyata dari evolusi biologis, di mana organisme secara genetis beradaptasi untuk bertahan hidup menghadapi tantangan lingkungan.
BACA JUGA:Misteri Asal-Usul Virus Covid-19 Mulai Terkuak, Bukan Dari Lab Virologi Wuhan!
Konsep resistansi antimikroba bermula dari pemahaman dasar interaksi antara mikroorganisme dan zat antimikroba. Ketika suatu antibiotik diperkenalkan, pada awalnya obat tersebut mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan mayoritas populasi mikroba.
Namun, di antara populasi tersebut, terdapat beberapa individu yang memiliki variasi genetik unik yang memungkinkan mereka bertahan.
Mikroba-mikroba yang memiliki gen resistansi itu tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang biak, menciptakan generasi baru yang secara genetis lebih tahan terhadap antimikroba.
BACA JUGA:Ilmuwan Temukan Virus Berbahaya di Tiongkok yang Menular melalui Gigitan Kutu
Mekanisme terjadinya resistansi antimikroba sangat beragam dan canggih. Bakteri dapat mengembangkan resistansi melalui beberapa strategi genetik.
Pertama, bakteri dapat memodifikasi struktur molekul yang menjadi target obat, sehingga antimikroba tidak lagi mampu berikatan atau mengganggu fungsi sel bakteri.
Kedua, bakteri dapat mengembangkan enzim yang mampu merusak atau memodifikasi struktur molekul obat sebelum obat tersebut dapat memberikan efek.
Ketiga, mereka dapat mengembangkan pompa efluks, yaitu mekanisme yang secara aktif mengeluarkan molekul obat dari dalam sel sebelum obat dapat memberikan efek terapeutik.
BACA JUGA:Mirip Seperti Covid 19, Begini Penyebaran Virus Mpox
“Sejak penemuan antibiotik pertama oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, umat manusia telah mengalami revolusi dalam kemampuan mengatasi penyakit infeksius,” ungkap alumnus Fakultas Kedokteran Unhas itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, mikroorganisme telah mengembangkan mekanisme pertahanan yang canggih sehingga membuat tantangan pengobatan semakin rumit dan memerlukan pendekatan strategis yang berkelanjutan.
“Upaya mengatasi resistensi antimikroba memerlukan strategi komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pengembangan obat baru, tetapi juga pada perubahan perilaku dan sistem,” jelas Taruna. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: