Mewujudkan Generasi Emas 2045
ILUSTRASI Mewujudkan Generasi Emas 2045.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Hal itu menunjukkan bahwa untuk menciptakan kepemimpinan dan peradaban yang unggul, kebangkitan pemikiran masyarakat harus menjadi prioritas pertama.
MEMBANGUN MASYARAKAT YANG CERDAS DAN KRITIS
Lantas, apakah pemikiran masyarakat Indonesia sudah bangkit? Sayangnya belum. Generasi kita saat ini minim literasi. Menurut UNESCO, dari 70 negara, Indonesia menduduki peringkat ke-60, dengan rata-rata minat baca 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.
Menurut laporan UIS 2021, ada beberapa faktor yang memengaruhi tingkat literasi. Di antaranya adalah kualitas pendidikan, akses terhadap pendidikan, kondisi ekonomi, dan sikap budaya terhadap pendidikan.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) mencatat bahwa per Desember 2023, jumlah penduduk Indonesia mencapai 280 juta jiwa. Namun, hanya 6,68 persen atau 18,74 juta jiwa yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi.
Maka, tidak heran jika Indonesia memiliki tingkat literasi yang rendah. Belum lagi, polemik tenaga pendidik yang kompleks makin memperburuk kondisi itu.
Ketidakadilan dan kekacauan dalam tatanan sebuah negara sering kali tumbuh seiring dengan rendahnya kualitas pemikiran masyarakatnya. Oleh karena itu, meningkatkan taraf berpikir masyarakat menjadi keharusan.
Dalam bukunya, Geopolitik Ummat, Fika Komara menyatakan bahwa fasilitas yang rusak bisa diperbaiki, tetapi pemikiran yang bobrok tidak akan mampu membangun apa pun. Dengan kata lain, investasi terbesar bagi kemajuan bangsa bukanlah pada infrastruktur, melainkan pendidikan.
Untuk itu, perbaikan kualitas dan akses pendidikan menjadi langkah awal yang penting untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
MENGEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA
Di era globalisasi ini, ketika paparan informasi dari seluruh dunia mudah diakses melalui media sosial, generasi muda makin mudah terpapar nilai-nilai luar. Gramsci menyebutnya sebagai hegemoni budaya, yaitu dominasi suatu kelompok atau nilai tertentu dalam masyarakat yang sering kali mengorbankan identitas lokal.
Salah satu contohnya adalah fenomena fear of missing out (FOMO) yang marak di kalangan muda-mudi Indonesia.
Media sosial kerap dijadikan standar hidup. Mereka mudah terbawa arus tanpa memiliki prinsip yang jelas sehingga merasa tertinggal dan rendah diri ketika tidak dapat memenuhi ekspektasi tersebut.
Akibatnya, selain kesehatan mental terganggu, standar kehidupan dan cita-cita mereka pun sering kali ”dikendalikan” nilai-nilai hegemonik.
Menutup diri dari dunia luar akan membuat kita terkungkung, tapi mengadopsi tanpa filterisasi juga mendatangkan masalah besar. Penting untuk memiliki akar sejarah dan budaya yang kuat sebagai batu pijakan untuk mengadopsi segala kebaruan dengan bijaksana tanpa kehilangan jati diri bangsa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: