Cerita Diaspora oleh Mohammad Rozi (4): Bertahan Demi Pendidikan Anak

Cerita Diaspora oleh Mohammad Rozi (4): Bertahan Demi Pendidikan Anak

Mohammad Rozi sekeluarga saat wisuda salah seorang dari empat anaknya pada Juli 2024. -Mohammad Rozi-

HARIAN DISWAY - Pertanyaan yang sering muncul dalam pembicaraan saya dan istri adalah: apakah kami akan bertahan terus di Inggris, atau balik pulang balik ke Indonesia. Itu terjadi menjelang visa kami habis. Kami berdiskusi banyak hal dengan berbagai pertimbangan. 

Pada akhirnya, kami memutuskan untuk tetap tinggal di Inggris. Salah satu pertimbangan utama adalah pendidikan buat anak-anak. Inggris mungkin belum sebaik negara-negara Skandinavia dalam sistem pendidikan. Namun, Inggris tetaplah jadi salah satu tujuan beberapa orang. Mereka yang ingin anaknya mengenyam pendidikan terbaik. 

Saya jadi teringat nasihat Brian Karim. Supervisor saya ketika jadi cleaner di Birmingham Ormistan Academy. Dia suka dengan orang Indonesia. Alasannya, suka dengan kinerja dan peringai ramahnya.

BACA JUGA: Antara Prestasi dan Pengalaman, Mana yang Dibutuhkan dalam Dunia Kerja?

Saya menjadi orang kesekian yang pernah jadi anak buahnya. Begini kira-kira nasihatnya: ”Kamu jangan balik ke Indonesia. Pikirkan pendidikan anak-anakmu. Mereka tumbuh di sini. Mereka akan kesulitan jika harus kembali sekolah di sana. Sedang di sini mudah.”  

Itu dikatakan ketika Tazkia, si nomor satu, kira-kira masih tiga tahun lagi masuk universitas. Nasehat itu tak terlalu saya dengar. Saat itu, pikiran saya masih ingin balik ke Indonesia. 
King Edward VI Handsworth Grammar School, salah satu sekolah favorit di Birmingham. -Mohammad Rozi-

Memang di Inggris pendidikan anak sampai usia 18 tahun gratis. Anak mulai membayar pendidikan ketika masuk perguruan tinggi. Kualitas sekolah hampir sama secara merata. Demikian pula dengan fasilitasnya. Kalaupun ada kesenjangan kualitas, biasanya boleh dibilang tidak terlalu jauh.

BACA JUGA: Faktor Pendorong Gen Z Merintis Karier di Luar Negeri

Biasanya orang tua melihat ranking Ofsted (semacam badan akreditasi sekolah di Indonesia) sebagai pertimbangan. Waktu berlalu cepat. Tibalah saat si paling besar sudah menjelang masuk universitas. Di sini kami berpikir keras. Jika harus balik ke Indonesia, urusannya memang akan menjadi sangat kompleks.

Mulai mencari universitas, jurusan, masalah kebahasaan. Belum lagi kepesertaan test masuk, dan lain-lain.  Juga satu hal yang tak kalah penting: kemauan anaknya sendiri.  Sebaliknya, jika kami tetap bertahan, situasinya akan lain. Si sulung tinggal memilih jurusan yang ia sukai.

Di universitas mana pun. Dengan prasyarat nilai A-level atau setara kelas 13 yang mencukupi. Pada saat-saat seperti ini, saya pun terngiang-ngiang nasehat Brian. Memang benar apa yang dikatakannya. 

BACA JUGA: Top 7 Negara Pemberi Beasiswa Terbanyak untuk Studi Luar Negeri

Kami memutuskan untuk mengajukan permanent resident (PR). Itu terjadi pada 2019. Dengan demikian biaya studi universitas pun dikenakan sama seperti warga lokal. Bukan biaya mahasiswa internasional—yang bisa sampai dua atau tiga kali lipatnya.

Tazkia akhirnya memilih University Centre of Lancaster. Ia mengambil jurusan Bahasa Korea dan Teaching English as Second or Foreign Language (TESOL). Tipikal kesukaan gadis zaman sekarang. Programnya selama 3 tahun, plus 1 tahun student exchange di Busan Korea. Tahun lalu ia sudah lulus. Anak sulung saya kini bekerja di London Trinity College, Birmingham.
Mohammad Rozi (kiri) bersama Brian Karim, salah seorang mentornya di Birmingham. -Mohammad Rozi-

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: