Kurban di Tengah Krisis: Antara Ritual dan Harapan Umat

Daging sapi, hewan kurban disembelih, dan daging dibagikan sebagai wujud solidaritas antarumat.-Creative Post Production Studio-
HARIAN DISWAY - Iduladha senantiasa menjadi momen spiritual yang penuh makna. Takbir menggema, hewan kurban disembelih, dan daging dibagikan sebagai wujud solidaritas antarumat.
Namun tahun ini, perayaan itu kembali datang dalam suasana yang tidak biasa. Indonesia tengah menghadapi tekanan ekonomi yang kian kuat: tingkat pengangguran meningkat, harga-harga kebutuhan pokok melonjak, dan daya beli masyarakat melemah secara nyata.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terbuka Indonesia per Februari 2025 mencapai 5,6 persen atau sekitar 8,2 juta orang, naik signifikan dibanding tahun sebelumnya. Di banyak wilayah, masyarakat kehilangan pekerjaan, pendapatan menurun, sementara kebutuhan terus meningkat.
Selain itu, gini ratio (indikator ketimpangan pengeluaran) pada September 2024 tercatat sebesar 0,381, mencerminkan ketimpangan yang masih tinggi, terutama di perkotaan dengan angka 0,402. Dalam konteks ini, kurban tidak bisa lagi dipahami sekadar sebagai ibadah simbolik. Ia harus menjadi gerakan sosial dan solusi konkret atas persoalan ekonomi umat.
BACA JUGA: Seempuk Wagyu! Olah Daging Kurban dengan Resep Sate Kambing ala Devina Hermawan
Kurban sejatinya adalah representasi pengorbanan yang lahir dari keikhlasan dan cinta sosial. Seperti yang tercantum dalam QS. Al-Hajj ayat 37 bahwa “Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”
Salah satu cara alternatif agar daging kurban dapat didistribusikan dengan baik yaitu dengan mengembangkan model kurban kolektif produktif.--kanjabung.com
Ayat ini menyiratkan pesan penting bahwa nilai kurban terletak bukan pada fisik daging yang dikurbankan, tetapi pada efek sosial dan spiritual dari ibadah tersebut. Namun dalam praktiknya, kurban di Indonesia kerap terjebak dalam formalitas tahunan.
Distribusi daging sering kali tidak merata, bahkan di satu kampung, warga bisa menerima hingga lima kantong daging, sementara di kawasan pinggiran, sebagian besar tidak kebagian sama sekali. Di sisi lain, masyarakat yang secara ekonomi belum layak justru memaksakan diri berkurban demi gengsi sosial.
BACA JUGA: Qurban Anti Ribet di RPH Pegirian Surabaya: Potong 10 Ekor Sapi dalam 1 Jam
Bahkan ada yang berutang atau menjual aset penting hanya untuk tampil mampu di mata lingkungan. Situasi ini memperlihatkan adanya ketimpangan antara makna ideal dan praktik aktual. Kita butuh pendekatan baru yang lebih progresif dan berpihak pada keadilan sosial. Salah satu alternatifnya adalah dengan mengembangkan model kurban kolektif produktif.
Kurban Kolektif Produktif: Inovasi Sosial Islam
Konsep ini lahir dari kebutuhan untuk menjadikan kurban lebih efisien, merata, dan berdampak jangka panjang. Dalam model ini, pelaksanaan kurban dilakukan secara kolektif melalui lembaga profesional seperti BAZNAS, LAZISMU, koperasi syariah, atau badan ekonomi umat lainnya.
Daging yang diperoleh tidak hanya dibagikan mentah, tetapi diolah menjadi produk tahan lama seperti rendang kaleng, abon, frozen food halal, atau bahkan diolah menjadi stok logistik bencana dan bantuan pangan jangka menengah. Langkah tersebut merupakan inovasi produk kurban, selain itu juga merupakan bagian dari spirit kontekstualisasi kurban di era kekinian yang tentunya menjawab persoalan umat yang semakin kompleks.
BACA JUGA: 3 Karakter Anime dan Game Ini Kemungkinan Jadi Kurban di Iduladha
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: