Kematian Tukang Kritik pada Era Post-Truth (Tanggapan untuk Prof Biyanto)
ILUSTRASI Kematian Tukang Kritik pada Era Post-Truth (Tanggapan untuk Prof Biyanto).-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Sekitar 15 tahun silam, saat sesi presentasi sebagai calon guru besar di bidang Riset Operasi dan Optimasi Teknik Kelautan ITS, saya ditanya oleh seorang guru besar senior, mengapa saya lebih banyak menulis tentang pendidikan daripada teknik kelautan.
Saya jawab bahwa itu terjadi karena kecelakaan sejarah: saya diminta oleh Pak Imam Utomo, gubernur Jatim waktu itu, untuk mau menjadi ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur yang pertama sejak UU Sisdiknas berlaku. Sampai sekarang saya tidak tahu persis mengapa bukan ahli pendidikan yang beliau tunjuk.
Tempo hari, melalui WA, saya diminta pendapat oleh seorang pegiat ormas Islam yang sedang mengajukan gugatan atas pembubarannya oleh pemerintah.
Saya jawab demikian: ”Pencabutan BHP HTI oleh pemerintah jelas mengada-ada dan sebuah upaya untuk menekan kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat, sambil mengaburkan ancaman yang sebenarnya sudah dan sedang terjadi atas NKRI, yaitu neokolonialisme. Jadi, tindakan sewenang-wenang pemerintah atas HTI itu adalah intentionally crafted hoax sambil menyembunyikan kebenaran dari kesadaran publik”.
Pendapat saya tersebut kemudian dikemas menjadi meme viral yang kemudian dibaca publik bahwa saya adalah pendukung HTI.
Beberapa hari kemudian, sebuah koran nasional memberitakan bahwa pejabat tertinggi di Kementerian Ristekdikti telah memecat tiga dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang tersangkut kasus HTI itu.
Rektor ITS segera menggelar press release untuk meluruskan apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh ITS atas tiga dosen tersebut.
Ternyata ketiga dosen tersebut sedang diproses, mungkin menuju pemecatan mereka. Saya tidak dipecat, hanya dicopot dari jabatan dekan fakultas teknologi kelautan (FTK), ITS.
Setelah Normalisasi Kehidupan Kampus hampir 40 tahun silam, kemudian UU Ormas, UU Antiterror, lalu rilis Daftar Dai oleh Kementerian Agama yang mungkin akan muncul, saya membayangkan akan lahir regulasi normalisasi masjid.
Saya berharap tidak banyak intelektual publik yang akan mati lagi. Saya pikir, di era post-truth ini, tanggung jawab intelektual itu mengalami tantangan baru yang dengan jitu digambarkan oleh Isaian Berlin. Intelektual tidak hanya menghadapi risiko pembungkaman oleh penguasa, tapi juga tuduhan menjadi antek-antek oligarki oleh masyarakat.
”The middle ground is a notoriously exposed, dangerous, and ungrateful position.” demikian dikatakan Isaiah Berlin. Posisi tengah itu sasaran hujatan, berbahaya, dan tidak dihargai.
Banyak masyarakat berharap agar para intelektual tidak bersembunyi dalam kenyamanan menara gading, tapi turun membersamai masyarakat sebagai intelektual organik.
Namun, saat turun, mereka hampir selalu dinilai dengan penuh kecurigaan patologis. Mungkin Rasulullah SAW lebih baik tetap tinggal di Gua Hira agar tidak disangka majnun jika turun menemui tokoh-tokoh Quraisy pemimpin masyarakat jahiliah di Makkah? (*)
*) Daniel Mohammad Rosyid adalah guru besar Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: