Kematian Tukang Kritik pada Era Post-Truth (Tanggapan untuk Prof Biyanto)

 Kematian Tukang Kritik pada Era Post-Truth (Tanggapan untuk Prof Biyanto)

ILUSTRASI Kematian Tukang Kritik pada Era Post-Truth (Tanggapan untuk Prof Biyanto).-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

SUATU KETIKA Bennedict Anderson berkisah tentang pengalamannya memberikan kuliah umum di Universitas Chulalongkorn, Thailand. Kepada audiensnya waktu itu –para dosen, guru besar, dan mahasiswa pascasarjana– ia bertanya tentang seorang sutradara terkenal asal Thailand yang film-filmnya tentang masyarakat Thailand telah memperoleh berbagai penghargaan internasional. 

Apakah mereka mengenal tokoh tersebut.

Hanya satu mahasiswa pasca yang mengacungkan tangan. Yang lain hanya bertanya-tanya, who the hell he is

BACA JUGA:Tanggung Jawab Ilmuwan: Menyambung Keterputusan Antara Pengetahuan dan Kemanusiaan

Ben Anderson kemudian mengambil kesimpulan bahwa universitas-universitas Thailand, seperti banyak universitas di negara berkembang lainnya, mengalami sebuah proses yang dinamainya profesionalisasi, lalu kehilangan banyak intelektual publik. 

Para profesor sibuk menekuni bidang spesialisasinya yang makin sempit dengan bahasa yang hanya bisa dipahami di antara mereka sendiri, tapi tidak dipahami masyarakatnya.

Menurut kamus Webster, yang disebut intelektual publik adalah seorang intelektual –yang dikenal sebagai ahli di bidang spesialisasi tertentu– yang dikenal masyarakat luas karena sering menunjukkan kesediaan untuk memberikan pendapat atau komentar atas peristiwa-peristiwa menarik mutakhir apa saja yang terjadi di masyarakat. 

BACA JUGA:Jalan Sepi Sunyi Akademisi Publik, Otokritik untuk Para Akademisi dan Dikti (Tanggapan Tulisan Prof Biyanto)

Komentar itu muncul bisa melalui sebuah wawancara dengan wartawan atau melalui tulisan opini bebas di koran atau portal berita online.

Seorang intelektual publik biasanya menyodorkan pandangan yang berbeda dengan pandangan arus utama atau pandangan pemerintah. Pandangan intelektual publik itu sering kali juga kontroversial, tidak lazim, tapi mencerahkan karena mampu menunjukkan perspektif baru atas sebuah realitas. 

Para intelektual publik sering juga disebut tukang kritik, dissenter, atau bahkan dissident (pemberontak politik).

BACA JUGA:Memahami Tanggung Jawab Ilmuwan

Saat ini Prof Noam Chomsky dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) adalah intelektual publik paling kesohor di Amerika Serikat (AS) dan sering tampil sebagai dissident paling tajam atas kebijakan luar negeri AS. 

Intelektual publik Indonesia yang kesohor hari ini adalah Rocky Gerung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: