Jalan Sepi Sunyi Akademisi Publik, Otokritik untuk Para Akademisi dan Dikti (Tanggapan Tulisan Prof Biyanto)

Jalan Sepi Sunyi  Akademisi Publik, Otokritik untuk Para  Akademisi dan Dikti (Tanggapan Tulisan Prof Biyanto)

ILUSTRASI Jalan Sepi Sunyi Akademisi Publik, Otokritik untuk Para Akademisi dan Dikti (Tanggapan Tulisan Prof Biyanto).-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

TULISAN Prof Biyanto di Harian Disway (14 Januari 2025) sungguh menggelitik kaum cendekia ilmuwan kampus. Tulisan itu adalah tamparan dan kritik keras serta mengingatkan pentingnya tanggung jawab sosial para ilmuwan agar tidak selfish

Ilmuwan harus turun dari pertapaan. Ilmuwan harus hadir memberikan kemanfaatan di masyarakat. Ilmuwan harus memublikasikan karya ilmiah dalam berbagai karya publikasi. 

Kami pikir itu penting untuk digarisbawahi dan diberikan cetak tebal. Eksistensi sejati para ilmuwan sesungguhnya dinilai publik dan masyarakatnya. Ilmuwan harus memberikan kontribusi dan solusi konkret kepada masyarakat.

BACA JUGA:Memahami Tanggung Jawab Ilmuwan

BACA JUGA:Akademisi Menjadi Menteri, Harapan Baru dan Optimisme

Lantas, seberapa jauh ikhtiar untuk menjadi dan membangun kultur ilmuwan publik organik tersebut? 

Hal itulah yang menjadi tantangan abadi para akademisi. Tentu saja jalannya terjal dan banyak kendala menuju peran itu. Peta jalan tersebut kompleks dan penuh liku. Salah satunya, menurut kami, bisa diraih melalui perubahan lebih progresif, yakni mendorong riset aksi dan publikasi ilmiah populer. 

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) harus berani membuat terobosan lebih progresif untuk bisa menghargai riset aksi dan publikasi ilmiah populer dengan penilaian yang lebih apresiatif. Peta jalan itu diyakini  bisa mendorong dan menjadikan kampus sebagai sumber intelektual publik. 

BACA JUGA:Kiai dan Akademisi dalam Pengawalan Pilpres 2024

BACA JUGA:Akademisi: Mayor Teddy Melanggar UU TNI

Sesungguhnya menjadi ilmuwan publik organik adalah sebuah panggilan mulia dan bermartabat. Namun, di tengah realitas akademis di Indonesia, peran tersebut sepi peminat dan kian terpinggirkan. Banyak akademisi yang enggan menekuni jalur itu. Salah satunya karena minimnya penghargaan terhadap karya-karya yang disampaikan kepada publik melalui media massa.

Saat ini tulisan dosen di media massa, seperti opini atau artikel, dianggap kurang signifikan dalam sistem penilaian angka kredit dosen. Ditjen Dikti hanya memberikan angka kredit ”1” untuk karya semacam itu. Ironisnya, tulisan-tulisan tersebut sering kali memiliki jangkauan yang lebih luas dan berperan penting dalam menyebarkan pengetahuan. 

Sementara itu, daya jangkau tulisan tersebut di era medsos saat ini bisa menyasar masyarakat pembaca lebih luas. Tulisan di media massa tersebut bisa menjangkau kelas sosial mana pun, bisa diakses kapan saja, siapa saja, di mana saja, dengan biaya ekonomis. 

Sebaliknya, karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal-jurnal sering kali hanya dibaca kalangan terbatas, eksklusif, mahal, dan sulit akses serta bahasa yang tidak mudah dimengerti semua kalangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: