Nobel Fisika 2025: Tuhan Mungkin Bermain Dadu

Nobel Fisika 2025: Tuhan Mungkin Bermain Dadu

ILUSTRASI Nobel Fisika 2025: Tuhan Mungkin Bermain Dadu.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

KETIKA mendengar percakapan antara Prof Emeritus John Clarke dan Adam Smith dari Komite Hadiah Nobel, saya merasa terharu. Clarke tampak terkejut sekaligus terenyuh. Dengan suara bergetar, ia berkata, ”saya tidak bisa membayangkan menerima penghargaan ini tanpa dua rekan saya.” 

Pernyataan itu merujuk kepada John Martinis dan Michel Devoret, dua ilmuwan yang telah bekerja bersamanya selama lebih dari empat dekade. Kolaborasi itu berbuah hadiah Nobel Fisika 2025.

Panitia Nobel di Stockholm menjelaskan alasan penghargaan itu: ”atas karya luar biasa dalam mekanika kuantum, khususnya karena berhasil membangun sistem superkonduktor yang mampu menembus batas antar-keadaan fisik (tunneling between physical states).” 

BACA JUGA:Tiga Ilmuwan Universitas California Raih Nobel Fisika 2025 Berkat Terobosan Mekanika Kuantum

BACA JUGA:Mengenal Nihon Hidankyo, Penyintas Bom Nuklir Hiroshima, Penerima Nobel Perdamaian

Penemuan tersebut membuktikan bahwa fisika kuantum yang dulu rumit kini dapat dijinakkan dan diwujudkan menjadi teknologi nyata penentu masa depan manusia.

John Clarke, lahir di Cambridge tahun 1942, menempuh pendidikan sarjana dan doktoral di University of Cambridge, Inggris. 

Ia berkarier panjang di University of California, Berkeley, bekerja bersama John M. Martinis, fisikawan kelahiran 1958 yang berafiliasi dengan University of California, Santa Barbara, dan dikenal sebagai pionir penelitian qubit superkonduktor untuk komputasi kuantum. 

BACA JUGA:Nobel Ekonomi 2025: Resonansi Gagasannya untuk RI

Rekan mereka, Michel H. Devoret, lahir di Paris tahun 1953, meraih Ph.D. dari Universitas Paris-Sud dan kini menjadi profesor di Yale University. 

Kolaborasi lintas generasi dan benua itu menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan berkembang melalui jejaring intelektual yang luas dan saling memperkaya.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Martinis dan Devoret, perhatian saya tertuju kepada John Clarke dan perjalanan pendidikannya. Seperti Isaac Newton, Clarke menempuh pendidikan di Cambridge, salah satu universitas tertua dan paling berpengaruh di dunia. 

Saya berkesempatan mengunjungi Cambridge pada 2022. Menyusuri halaman-halaman tua dan menaiki perahu di antara bangunan batu berabad-abad, langkah saya terhenti di Trinity College, tempat Newton menimba ilmu. 

Saya duduk di bawah pohon apel Newton, konon hasil cangkok dari pohon asli di Woolsthorpe Manor, tempat ia menemukan gagasan gravitasi. Saat itu saya menyadari betapa kuatnya atmosfer akademik Cambridge: tidak mengherankan tempat itu melahirkan tokoh-tokoh besar yang mengubah dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: