Nobel Fisika 2025: Tuhan Mungkin Bermain Dadu

Nobel Fisika 2025: Tuhan Mungkin Bermain Dadu

ILUSTRASI Nobel Fisika 2025: Tuhan Mungkin Bermain Dadu.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Melihat Clarke menempuh jalur yang sama dengan Newton di Cambridge mengingatkan saya akan warisan intelektual universitas tersebut dalam bidang ilmu alam, terutama fisika. 

Peradaban modern dibangun di atas fondasi fisika, dari mana lahir berbagai ilmu rekayasa yang menjembatani teori dan penerapan praktis. 

Di antara semua teori yang pernah lahir, yang paling berpengaruh adalah temuan Isaac Newton. Fisikawan Michio Kaku menyebutnya ilmuwan fisika terbesar sepanjang masa karena Newton tidak hanya merumuskan hukum-hukum alam, tetapi juga menciptakan kalkulus untuk menghitungnya dengan presisi tinggi.

Fisika Newton berpijak pada pandangan bahwa alam semesta bekerja secara deterministik: teratur, pasti, dan dapat diprediksi. Setiap gerak benda mengikuti hukum sebab-akibat sehingga alam semesta tampak seperti mesin yang bergerak secara terstruktur, terukur, dan masif. 

Hukum-hukum Newton menyediakan landasan ilmiah bagi inovasi teknologi yang memicu revolusi industri: penemuan mesin uap, mesin listrik, dan teknologi rekayasa lainnya mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang lebih produktif dan dinamis.

Namun, fisika Newton yang mendominasi pemikiran ilmiah selama tiga abad akhirnya digugat pada awal abad ke-20. Max Planck menunjukkan bahwa hukum Newton tidak berlaku di dunia atom, di mana partikel-partikel subatomik tidak lagi patuh pada hukum sebab-akibat klasik. 

Pergeseran besar itu memuncak dalam perdebatan terkenal antara Albert Einstein dan Niels Bohr. Einstein, yang masih percaya pada keteraturan semesta, berkata, ”God does not play dice with the universe.” 

Bohr menanggapinya dengan tegas, ”Einstein, stop telling God what to do.” Debat itu menandai lahirnya paradigma baru: pada skala mikroskopik, ketidakpastian justru menjadi hukum dasar alam.

Fisika kuantum mengungkap bahwa partikel seperti elektron dan foton bersifat dualitas partikel-gelombang. Dunia mikroskopis tidak tunduk pada kepastian, melainkan probabilitas: posisi dan kecepatan partikel hanya dapat diperkirakan, dan hasilnya bergantung pada cara pengamatan. 

Energi dan materi di dunia ini muncul dalam paket terkecil yang disebut kuantum, unit dasar fenomena mikroskopis. Menariknya, ketika diamati, gelombang runtuh menjadi satu kemungkinan nyata, meninggalkan sifat partikel, misteri yang telah digumuli ilmuwan kuantum selama hampir satu abad.

Fenomena unik itu diformulasikan secara tepat oleh Erwin Schroedinger melalui persamaan gelombangnya meski pembuktiannya di laboratorium tetap sulit dilakukan. 

Lebih menakjubkan, partikel-partikel itu dapat saling terhubung secara instan meski terpisah jauh melalui fenomena keterikatan kuantum (entanglement). 

Superposisi, keadaan di mana partikel dapat berada di beberapa kondisi sekaligus, menandai perbedaan radikal dengan dunia makroskopik Newton. 

Richard Feynman pernah berkata, ”if you think you understand quantum mechanics, you don’t,” menggambarkan betapa misteriusnya dunia ini.

Kesulitan memahami dunia kuantum akhirnya terpecahkan seabad kemudian lewat karya Clarke dan timnya. Mereka membangun rangkaian superkonduktor yang menjaga keadaan kuantum tetap stabil sehingga gelombang kuantum tidak runtuh sebelum diukur. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: