Pemangkasan Anggaran: Efisiensi, Iklim Investasi, dan Pertumbuhan Ekonomi

ILUSTRASI Pemangkasan Anggaran: Efisiensi, Iklim Investasi, dan Pertumbuhan Ekonomi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Jangan sampai pemangkasan anggaran yang telah dieksekusi dengan dalih penghematan justru menghambat kinerja birokrasi yang berimplikasi pada produk perizinan dan regulasi yang menjadi landasan kemudahan berinvestasi (EoDB = easy of doing business).
Data terakhir dari Bank Dunia pada 2020 mengungkap hasil riset tentang kemudahan berinvestasi. Indeks kemudahan berbisnis disusun Bank Dunia menggunakan puluhan indikator.
Salah satunya adalah indikator kemudahan memulai usaha yang diukur dari prosedur pengurusan izin usaha, lama waktu, biaya, sarana dan prasarana infrastruktur, serta modal minimum yang diperlukan untuk mendirikan usaha legal di tiap negara.
Ada pula indikator terkait kemudahan izin konstruksi, akses listrik, pengurusan legalitas properti, fasilitas kredit, perpajakan, prosedur ekspor-impor, sampai perlindungan hukum terhadap investor yang memiliki saham minoritas.
Bank Dunia memberikan penilaian dengan rentang skor 0 sampai 100. Skor 0 berarti negara tersebut memiliki kebijakan yang sangat buruk bagi pelaku usaha, sedangkan 100 berarti sangat baik.
Pada 2020 Indonesia meraih skor indeks kemudahan berbisnis sebesar 69,6, lebih baik ketimbang Filipina dengan skor 62,8; Kamboja dengan 53,8; Laos 50,8; Myanmar 46,8, dan Timor Leste paling buncit dengan raihan skor 39,4.
Akan tetapi, Indonesia masih kalah oleh Vietnam yang meraih skor 69,8; Brunei Darussalam dengan skor 70,1; Thailand 80,1; Malaysia 81,5; dan Singapura paling puncak dengan skor 86,2.
Adapun sejak September 2021, Bank Dunia menghentikan pembuatan laporan indeks kemudahan berbisnis sehingga sampai saat ini belum ada pembaruan data karena masalah internal.
Dalam ASEAN Investment Report pada September 2022, dirilis hasil laporan foreign direct investment (FDI) bahwa pada 2021 negara ASEAN yang paling banyak menerima aliran investasi asing adalah Singapura, yakni sebesar USD 99,1 miliar.
Bagi Singapura, angka itu juga menjadi rekor investasi asing terbesar yang diterima negeri jiran tersebut sepanjang sejarah. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari kuatnya pemulihan investasi bidang manufaktur, terutama industri elektronik dan biomedis.
Di urutan kedua ada Indonesia yang menerima investasi asing USD 20,1 miliar.
Kemudian, ada Vietnam dengan angka investasi USD 15,7 miliar, lalu Malaysia dengan USD 11,6 miliar, disusul Thailand dengan angka investasi USD 11,4 miliar, Filipina USD 10,5 miliar, Kamboja USD 3,5 miliar, Laos USD 1,1 miliar, Myanmar USD1 miliar, dan Brunei Darussalam USD 200 juta.
Mengakomodasi sejumlah faktor yang berperan penting dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi yang akseleratif, pemerintah seharusnya memperkuat kebijakan yang telah berjalan yang diharapkan mampu menstimulasi potensi peningkatan angka investasi dan mendongkrak konsumsi publik.
Dua faktor tersebut merupakan determinan pembentuk modal produk domestik bruto (PDB). Kita tidak berharap bahwa pemangkasan anggaran untuk sektor infrastruktur prasarana dan sarana penunjang terbangunnya iklim investasi justru sangat berisiko menghambat masuknya arus investasi itu sendiri.
Dengan mempertimbangkan hasil kajian ASEAN Investment Report di atas, yang mana Indonesia memiliki peluang prospektif di sektor FDI, pemerintah perlu lebih selektif dalam memilih dan memilah anggaran sektor mana yang perlu dipangkas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: