Menjaga Amanat Reformasi ABRI

ILUSTRASI Menjaga Amanat Reformasi ABRI.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Reformasi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) –sekarang TNI– dimulai pada akhir 1990-an sebagai respons terhadap tuntutan demokratisasi pasca runtuhnya Orde Baru. Sebelum reformasi, ABRI memiliki peran ganda atau dwifungsi. Itu memungkinkan mereka berkiprah di bidang militer sekaligus politik dan pemerintahan.
Namun, setelah krisis ekonomi dan gelombang tuntutan reformasi tahun 1998, tekanan masyarakat untuk mengakhiri dominasi militer dalam pentas politik makin kuat. Salah satu tokoh yang berperan dalam upaya reformasi ABRI adalah SBY. Saat itu ia menjabat kepala staf teritorial TNI.
SBY aktif menggagas dan mendorong transformasi TNI menjadi kekuatan yang lebih profesional dan netral secara politik. Perannya kian terlihat ketika ia mendukung pemisahan TNI dan Polri pada 1999 serta pembatasan peran militer dalam pemerintahan sipil.
Reformasi itu juga meliputi penghapusan Fraksi ABRI di parlemen pada 2004 dan penguatan doktrin pertahanan negara.
Selain itu, SBY sering mengedepankan gagasan ”TNI yang profesional dan demokratis”, yang menekankan bahwa militer harus tunduk pada supremasi sipil dan tidak terlibat dalam politik praktis.
Ketika menjabat menteri pertambangan dan energi (1999–2000) serta menteri koordinator politik, sosial, dan keamanan (2000–2004), ia tetap konsisten dalam memperjuangkan reformasi militer, termasuk mendukung penghapusan Fraksi ABRI di DPR pada 2004.
Di samping itu, selama sepuluh tahun kepemimpinannya (2004–2014), jenderal reformis tersebut tidak pernah melantik pejabat dari unsur prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, kecuali yang sesuai dengan amanat UU TNI.
MEMETIK PELAJARAN
Pada era Orde Baru, dwifungsi ABRI telah menyebabkan konflik kepentingan yang menghambat demokratisasi. Sebab, tatkala tentara aktif mengisi mayoritas jabatan sipil strategis, kebijakan cenderung berpihak kepada stabilitas politik dan otoriter ketimbang kepentingan rakyat.
Penyalahgunaan kekuasaan, represi politik, pelanggaran HAM, serta birokrasi yang tidak profesional merupakan deretan dampak buruk ketika dwifungsi ABRI berlaku.
Ketika militer mendominasi pemerintahan sepanjang Orde Baru, demokrasi sekadar formalitas sehingga transparansi minim, inovasi kebijakan rendah, dan masyarakat makin kehilangan kepercayaan.
Reformasi 1998, salah satunya, berusaha mengakhiri dominasi itu dengan memisahkan TNI dan Polri serta menarik militer dari parlemen.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika belakangan ini tren militer menduduki jabatan sipil telah memicu penolakan dari berbagai pihak. Banyak yang khawatir kembalinya peran ganda TNI justru membuka episode baru otoritarianisme yang mengancam demokrasi.
Konflik kepentingan menjadi ancaman nyata karena kebijakan bisa lebih menguntungkan militer daripada kepentingan rakyat. Sentimen negatif juga bermunculan karena kekhawatiran akan berkurangnya kebebasan sipil seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Jika hal itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin ketidakstabilan politik akan meningkat dan justru merugikan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: