Kasus Curanmor di Surabaya: Sebelum Stigma Menjadi Budaya

Kasus Curanmor di Surabaya: Sebelum Stigma Menjadi Budaya

ILUSTRASI Kasus Curanmor di Surabaya: Sebelum Stigma Menjadi Budaya.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Alih-alih melakukan stigma terhadap etnis Madura pada setiap terjadinya kasus curanmor, barangkali kita perlu berpikir lebih jernih tentang akar permasalahan. Sering kali kriminalitas yang muncul di permukaan adalah sebuah gejala dari penyakit yang lebih kronis, ketimpangan ekonomi. 

Minimnya lapangan pekerjaan yang memadai serta meningkatnya angka migrasi ke Surabaya membuat tenaga kerja tidak terserap optimal. Hal tersebut membuat meningkatnya angka pengangguran dan ketimpangan ekonomi menjadi makin tajam. 

Kriminalitas, lebih spesifik curanmor, mungkin saja menjadi jalan yang paling rasional bagi kelompok miskin kota untuk sekadar bertahan dalam kerasnya kehidupan kota.

Patut digarisbawahi bahwa faktor ekonomi bukanlah faktor tunggal dari fenomena curanmor di Surabaya. Ketimpangan akses pendidikan dan penegakan hukum juga berperan dalam fenomena meningkatnya kasus curanmor di Surabaya.

Hal itu menjadi kaca benggala bagi seluruh stakeholder di Surabaya untuk saling bergotong royong mengatasi permasalahan curanmor. Menengok kembali kebijakan yang telah dilaksanakan dengan mengutamakan pada kebermanfaatan dan keberpihakan masyarakat miskin kota.

UPAYA PENGENDALIAN

Pertama, pemerintah tidak boleh tinggal diam saat melihat fenomena curanmor dan stigma yang makin deras. Setidaknya harus kita akui bersama bahwa terjadi ketimpangan ekonomi di Surabaya. 

Menciptakan ruang-ruang inklusif yang dapat dimanfaatkan seluruh warga untuk meningkatkan potensi pada bidang ekonomi sudah selayaknya menjadi program prioritas.

Kedua, melakukan perbaikan terhadap akses pendidikan agar mudah dijangkau bagi seluruh kalangan, khususnya kaum miskin kota. 

Menyediakan berbagai subsidi dan beasiswa menjadi program penting dalam pemerataan akses pendidikan. Pemerataan infrastruktur dan fasilitas teknologi sebagai sarana belajar-mengajar juga perlu diupayakan.

Ketiga, penegakan hukum dan langkah preventif pencegahan tindak kriminal curanmor harus segera ditingkatkan. 

Peningkatan intensitas patroli, pengecekan wilayah-wilayah yang disinyalir sebagai jalur pelaku melarikan motor curian, dan vonis yang berat harus segera ditingkatkan agar memberikan efek jera bagi para pelaku.

Terakhir, edukasi terhadap masyarakat mengenai keamanan pribadi, kebijaksanaan dalam bermedia sosial, hingga pemahaman mengenai tidak ada hubungan antara kriminalitas dengan etnis para pelakunya menjadi tugas kolektif yang harus selalu digaungkan pada berbagai kanal seperti media sosial, dialog sehari-hari, maupun di ruang-ruang kelas pada tingkat pendidikan sedini mungkin.

Dengan segala instrumen yang dimiliki pemerintah dan aparat penegak hukum dan dengan didukung komitmen oleh masyarakat luas, rasanya tidak sulit untuk meredam fenomena stigma dan kasus curanmor di Surabaya.

Namun, apabila kita sudah telanjur percaya bahwa stigma adalah sebuah niscaya tanpa berpikir ulang mengenai akar permasalahannya, jalinan komunikasi antaretnis di Surabaya akan menjadi amat runyam dan penuh curiga. Pun, tentu hal tersebut tidak pernah kita harapkan menjadi ”budaya kita”. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: