Koperasi, Usaha Berbasis Budaya

--
Ezrinal Azis, Sekretaris Umum Yayasan Proklamator Bung Hatta--
PEMERINTAH baru baru ini mencanangkan program yang cukup phenomenal, yaitu berdirinya 70.000 Koperasi di desa desa (Program Koperasi Desa Merah Putih). Langkah ini disinergikan dengan program makan bergizi gratis (MBG) yang merupakan program unggulan Presiden Prabowo.
Logikanya MBG bisa menjadi lokomotif bagi bergeraknya gerbong gerbong ekonomi rakyat melalui koperasi yang akan mengelola pertanian rakyat antara lain untuk memenuhi kebutuhan MBG yang merupakan output atau pasar yang pasti dan didukung anggaran pemerintah.
Menteri Koperasi Budi Ari dalam sambutannya pada Rapat Anggota Tahunan Koperasi BMI Group mengungkap dan menyadari bahwa kontribusi koperasi Indonesia dalam perekonomian nasional saat ini masih sangat minim. Berdasarkan data memang kontribusi Koperasi Indonesia adalah 5 persen (sumber lain menyebut bahkan kurang dari 1 persen) terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Nasional, sementara di berbagai negara baik negara maju maupun berkembang angkanya di atas 10 persen bahkan ada yang mencapai di atas 20 persen.
Program 70.000 Koperasi Desa Merah Putih kiranya dimaksudkan untuk mendongkrak peran koperasi di Indonesia sekaligus merealisasikan pesan moral konstitusi kita yang mengamanatkan agar koperasi menjadi sokoguru perekonomian bangsa.
BACA JUGA:Koperasi Desa Merah Putih Langsung Dapat Pinjaman dari Pemerintah Rp5 Miliar
BACA JUGA:Ekosistem Baru Koperasi Keuangan
Pesan moral ini berdiri di atas keyakinan bahwa hanya dengan demokrasi ekonomi (dalam wujud koperasi) keadilan sosial akan terwujud karena kesenjangan ekonomi dapat dikikis melalui pemerataan pengahasilan. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya GINI Ratio di negara negara di mana Koperasinya menjadi pelaku ekonomi yang dominan seperti negara negara Skandinavia. Di Finlandia misalnya peran Koperasi berkontribusi 21 persen terhadap PDB Nasional, hasilnya GINI ratio di negara tersebut sangat rendah yaitu 25,7 persen (tahun 2021)
Sudah barang tentu rencana besar di atas (Kopkar Merah Putih) mendapat tanggapan yang beragam. Aktivis koperasi Suroto mengingatkan akan kegagalan KUD di era Orde Baru yang disinyalir karena lemahnya manajerial KUD. Bisa dimaklumi karena koperasi adalah aktivitas usaha yang memerlukan skil manajerial dan entrepreunership tertentu terkait distribusi, pemasaran, SDM, keuangan, skala ekonomi, dan lain-lain yang belum dimiliki para petani.
Sementara pembinanya (Dinas Koperasi) hanya fokus pada masalah birokrasi terkait pemenuhan aturan sesuai UU Koperasi dan miskin wawasan entreupreunership. Walhasil KUD yang mungkin digagas dengan niat mulia untuk menyejahterakan rakyat di pedesaan praktis tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan dan rontok satu per satu.
Bapak Koperasi kita Bung Hatta sejak awal juga menyadari akan kelemahan ini. Menurut Bung Hatta, koperasi cocok dengan budaya bangsa kita yang lekat dengan budaya kerjasama atau gotong royong, namun untuk menggerakkan koperasi menurut Bung Hatta perlu ditambahkan skill entrepreunership yang belum dimiliki oleh sebagian besar bangsa kita yang masih tradisional sebagai petani atau nelayan.
Selain itu, rencana besar ini juga ditentang oleh sebagian besar Kepala Desa yang mengancam akan melakukan demo besar besaran ke istana. Mereka khawatir dana desa sebesar Rp 1 M per tahun itu tidak bisa lagi mereka kelola karena akan digunakan untuk memodali Koperasi Desa.
Lalu bagaimana mengatasi dua kendala yang merupakan faktor kunci dunia usaha yaitu entrepreunership dan modal.
Kegiatan usaha apapun bentuknya (koperasi maupun bukan) pada prinsipnya adalah menyinergitaskan potensi (seperti pertanian, perikanan, dan sebagainya), modal serta teknologi untuk memenuhi peluang (kebutuhan). Untuk itu diperlukan skill manajerial dan entrepreunership yang dapat mengorkestrasi factor-faktor kegiatan ekonomi tersebut menjadi usaha yang profitable.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: