Ladang Ganja di Zona Terlarang TNBTS (Bagian I)

Ladang Ganja di Zona Terlarang TNBTS (Bagian I)

Ladang ganja yang ditemukan di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).--


Probo Darono Yakti, Pemerhati Rezim Lingkungan Internasional FISIP UNAIR.--

PENEMUAN 59 titik ladang ganja di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) bukan sekadar kasus kriminal, tetapi juga cerminan lemahnya implementasi standar internasional dalam tata kelola kawasan konservasi di Indonesia. Kasus ini menyoroti bagaimana Indonesia menandatangani berbagai perjanjian global terkait pengelolaan kawasan lindung dan pencegahan kejahatan lintas negara, tetapi gagal dalam implementasi konsisten. Ironi yang sering menjadi perhatian pengamat lingkungan.

Dalam forum internasional, Indonesia menegaskan komitmennya terhadap perlindungan keanekaragaman hayati dan pemberantasan perdagangan narkotika. Namun, temuan ladang ganja di kawasan konservasi menunjukkan ironi besar: regulasi mengikat di atas kertas, tetapi praktiknya terjadi pembiaran sistemik. TNBTS sendiri bukan sekadar kawasan lindung biasa—sejak 9 Juni 2015, kawasan ini diakui UNESCO sebagai Cagar Biosfer, yang seharusnya berada dalam standar pengelolaan lebih ketat.

Komitmen Global versus Realitas Pengawasan

Indonesia merupakan bagian dari berbagai kerangka kerja internasional yang seharusnya mencegah taman nasional dijadikan lahan bagi aktivitas ilegal. Kesatu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), yang mewajibkan negara anggota memastikan pengelolaan kawasan lindung dilakukan secara berkelanjutan dan bebas dari aktivitas ilegal. Kedua, Indonesia juga terikat dalam Protokol Nagoya, yang menekankan pentingnya regulasi dalam pemanfaatan sumber daya alam dan genetik secara bertanggung jawab.

Ketiga, ada pula Konvensi PBB tentang Narkotika (UNODC), yang mengatur kerja sama internasional dalam mencegah produksi dan perdagangan narkotika di wilayah yang dilindungi. Keempat, Indonesia memiliki akses terhadap Interpol Project Leaf, sebuah inisiatif global untuk menangani kejahatan lingkungan, termasuk eksploitasi taman nasional oleh kelompok kriminal terorganisir. Kelima, dalam kerangka UNESCO untuk Cagar Biosfer, Indonesia mendapatkan pedoman tentang bagaimana kawasan konservasi harus dikelola agar tetap berkelanjutan.

BACA JUGA:Soal 59 Ladang Ganja yang Ditemukan di Bromo, Kemenhut Tegaskan Tak Terkait Pembatasan Drone

BACA JUGA:Fakta-Fakta Penemuan Ladang Ganja di Kawasan TNBTS

Secara teori, Indonesia seharusnya memiliki sistem pengelolaan yang sejalan dengan prinsip-prinsip global ini. Namun, kenyataannya, pengawasan terhadap taman nasional masih sangat longgar. Zona pemanfaatan yang seharusnya digunakan untuk ekowisata dan penelitian justru menjadi celah bagi aktivitas ilegal. Selain itu, minimnya patroli serta ketidakhadiran petugas di lapangan memperburuk situasi, memungkinkan kelompok-kelompok tertentu untuk mengubah kawasan konservasi menjadi ladang ganja skala besar.

Penyimpangan Sistemik dalam Tata Kelola Konservasi

Ada beberapa penyimpangan nyata dalam implementasi kebijakan yang melemahkan pengawasan taman nasional di Indonesia. Kesatu, pengelola terlalu bergantung pada teknologi pengawasan jarak jauh, seperti citra satelit dan drone. Tanpa tindak lanjut konkret di lapangan, teknologi ini hanya alat pemantauan pasif. Laporan yang dibuat pun sering kali bersifat administratif tanpa mencerminkan kondisi nyata. Kedua, tata batas kawasan konservasi sering tidak terjaga. Banyak patok batas hilang atau rusak tanpa audit ketat. Akibatnya, kawasan konservasi rentan terhadap perambahan dan penyalahgunaan.

Ketiga, lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum dan pengelola kawasan memperburuk keadaan. TNBTS kini berada di bawah Kementerian Kehutanan, sementara pemberantasan narkotika menjadi tanggung jawab BNN dan kepolisian. Tanpa koordinasi baik, kasus seperti ladang ganja di TNBTS berkembang tanpa terdeteksi. Keempat, partisipasi masyarakat dalam pengawasan minim. Penduduk lokal seharusnya menjadi aktor utama dalam menjaga kawasan dari aktivitas ilegal. Namun, tidak ada insentif yang mendorong keterlibatan mereka. Alih-alih bersinergi dengan masyarakat, pengelola taman nasional justru cenderung bekerja secara birokratis tanpa strategi pemberdayaan efektif.

Indonesia Berisiko Kehilangan Kredibilitas Internasional

Di tengah tekanan global terhadap isu kejahatan lingkungan dan perdagangan narkotika, kasus ini berpotensi merusak kredibilitas Indonesia di mata dunia. Jika kawasan konservasi terus dieksploitasi untuk kegiatan ilegal, bukan tidak mungkin Indonesia akan mendapatkan tekanan lebih besar dari komunitas internasional, baik dalam bentuk pengawasan yang lebih ketat maupun pembatasan akses terhadap bantuan konservasi. Selain itu, Indonesia juga berisiko menghadapi sanksi atau kebijakan pembatasan dari negara-negara mitra dalam kerja sama lingkungan dan keamanan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: