Bahasa Nasional AS dan Nasib Multikulturalisme

ILUSTRASI Bahasa Nasional AS dan Nasib Multikulturalisme.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Sebaliknya, pendukung kebijakan Trump berargumen bahwa memiliki satu bahasa resmi akan memperkuat identitas nasional dan memfasilitasi komunikasi antarwarga Amerika. Mereka percaya bahwa bahasa Inggris sebagai bahasa nasional dapat menjadi perekat masyarakat Amerika yang multikultural.
Hal itu sejalan dengan argumen yang digunakan pemerintahan Trump bahwa bahasa nasional merupakan inti dari masyarakat yang bersatu dan kohesif, dan AS akan makin kuat karena warga negaranya dapat dengan bebas bertukar ide dalam satu bahasa yang sama.
Kebijakan itu juga diyakini dapat mendorong imigran untuk lebih cepat berasimilasi dengan budaya Amerika karena penguasaan bahasa Inggris yang baik pada gilirannya akan meningkatkan mobilitas sosial dan ekonomi mereka.
Selain itu, kegiatan operasional pemerintahan diyakini menjadi lebih efisien karena peniadaan layanan alih bahasa dapat menghemat biaya administrasi dan mempercepat proses birokrasi.
Menilik pengalaman Amerika dalam menetapkan bahasa nasional, argumen persatuan nasional sebagai alasan di balik pengambilan kebijakan itu memiliki kemiripan dengan pengalaman bangsa Indonesia. Pada Sumpah Pemuda 1928 bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa pemersatu bangsa yang kemudian disahkan sebagai bahasa nasional melalui UUD 1945.
Meski demikian, ada perbedaan besar di antara keduanya terkait penetapan bahasa nasional. Di Amerika, bahasa Inggris merupakan bahasa yang digunakan secara dominan dalam berbagai ranah dan menjadikannya sebagai bahasa nasional akan makin mengukuhkan dominasinya atas bahasa-bahasa lain.
Sebaliknya, di Indonesia, bahasa Indonesia dipilih sebagai lingua franca karena dianggap netral sehingga dapat menghindari dominasi bahasa daerah tertentu.
Meski berhasil menjadi alat pemersatu, kebijakan bahasa nasional di Indonesia juga membawa konsekuensi terhadap tergerusnya pemakaian bahasa daerah, yang beberapa bahkan menghadapi ancaman kepunahan. Dengan demikian, kebijakan yang awalnya ditujukan untuk integrasi nasional justru berdampak mengurangi keragaman bahasa lokal.
Lalu, bagaimana dengan Amerika, apakah kebijakan itu akan berdampak terhadap keragaman bahasa di sana?
Jika dibandingkan dengan Indonesia, dampak kebijakan Trump terhadap bahasa-bahasa non-Inggris mungkin tidak akan sebesar yang terjadi di Indonesia. Sebab, bahasa non-Inggris –misalnya, bahasa Spanyol dan Mandarin– memiliki komunitas penutur yang besar dan infrastruktur linguistik yang kuat.
Walau demikian, kebijakan Trump tetap berpotensi menggerus bahasa minoritas yang lebih kecil, terutama di kalangan kelompok imigran yang lebih rentan dan komunitas pribumi Amerika yang telah lama berjuang mempertahankan bahasa mereka dari kepunahan.
Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa bahasa dapat menjadi alat pemersatu yang efektif jika diterapkan dengan mempertimbangkan konteks sosial dan budaya. Akan tetapi, penting untuk memastikan bahwa kebijakan bahasa nasional tidak mengorbankan hak-hak dan identitas kelompok minoritas.
Sebagai negara multikultural, Amerika Serikat perlu menyeimbangkan antara kebutuhan akan bahasa nasional dan penghormatan terhadap keberagaman yang menjadi kekuatannya. (*)
*) Titien Diah Soelistyarini adalah staf pengajar Departemen Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: