Keutamaan Budi (Virtue) Dokter Bukan Sekadar Kewajiban Kemanusiaan

Keutamaan Budi (Virtue) Dokter Bukan Sekadar Kewajiban Kemanusiaan

ILUSTRASI Keutamaan Budi (Virtue) Dokter Bukan Sekadar Kewajiban Kemanusiaan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Yang sering terjadi adalah dokter menaati kode etik dan aturan perundangan karena merasa wajib melakukannya atau bahkan takut mendapat masalah jika melanggarnya. 

Kebajikan dalam pelayanan kedokteran sering kali dipahami secara sempit hanya dalam konteks pelayanan terapeutik dalam relasi dokter-pasien atau relasi dokter-sejawat, terpisah dengan relasi dokter dan pasien atau sejawat sebagai sesama manusia. 

Akibatnya, seorang dokter bisa sangat baik dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, tetapi tidak sebaik itu ketika berelasi di luar konteks pelayanan kesehatan.

Dalam ilmu etika, dikenal virtue ethics atau etika keutamaan. Pandangan etika itu menarik karena kebaikan tidak hanya dipandang sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan atau sesuatu dianggap baik jika membawa efek positif atau manfaat yang lebih besar daripada efek negatifnya. 

Pandangan itu memandang kebaikan dari sudut pandang: jika kita adalah orang yang baik, yang memiliki sifat-sifat utama, apa kebaikan yang akan kita lakukan dalam situasi itu. 

Dengan demikian, seseorang melakukan kebaikan karena didorong oleh sifat alami dari kebaikan itu sendiri, yang akan tetap melakukan kebaikan bahkan meskipun bukan lagi kewajibannya dan mampu membuat keputusan yang bijaksana dengan sifat-sifat keutamaan yang dimiliki. 

Dokter perlu memandang bahwa menghormati pasien (dan keluarga pasien) bukan sekadar karena dokter wajib melakukannya atau jika tidak dilakukan dapat membawa dampak buruk, melainkan sebagai dokter yang memiliki sifat-sifat yang utama dan baik, maka kebaikan dilakukan dengan tulus.

Dari perbuatan-perbuatan amoral yang dilakukan oknum di dunia medis atau pendidikan kedokteran, kita perlu introspeksi diri. 

Pertama, bagaimana dokter memandang pasien, keluarga pasien, rekan sejawat, rekan profesi lain, sebagai manusia, yang sederajat dengan dokter, bukan sekadar sebagai pasien atau rekan dalam konteks pekerjaan. 

Kedua, apakah motivasi dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan sekadar pemenuhan kewajiban atau karena ketulusan karena didasari hati yang mengasihi. 

Ketiga, bagaimana sistem dan kurikulum pendidikan kedokteran Indonesia, apakah sekadar memenuhi para mahasiswa kedokteran dengan pengetahuan dan keterampilan medis atau membekali dengan pendidikan moral dan etika serta penalaran/logika yang tepat.

Menjadi seseorang yang dibutuhkan orang lain tidak berarti bisa menggunakan kesempatan untuk arogansi dan memanfaatkan orang lain, tapi memiliki tanggung jawab untuk menolong dan melindungi orang yang membutuhkan. 

Kiranya para dokter Indonesia menjadi dokter yang memiliki keutamaan (virtue). (*)


*) Ervin Dyah Ayu M.D. adalah dosen bioetika dan humaniora, Fakultas Kedokteran, Universitas Surabaya.--

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: