Pakaian sebagai Cerminan Diri, Tak Sekadar Tuntutan Sosial

Hal itu diperkuat oleh budaya populer yang kerap mengaitkan penampilan dengan nilai seseorang.

BACA JUGA:Perusahaan Startup AI Transformasi Busana Tradisional Tiongkok ke Tingkat Baru

Tayangan televisi, konten digital, dan selebritas menciptakan standar tak tertulis yang sulit dihindari.

Dalam situasi seperti itu, berpakaian bukan lagi soal kenyamanan. Tapi tentang bagaimana agar tetap terlihat layak di mata publik.

Tidak sedikit yang akhirnya menyesuaikan diri secara terus-menerus. Sampai lupa pada gaya asli yang pernah disukai.

BACA JUGA:Djaman Doeleo Resto & Bar Kolaborasikan Kuliner dan Peragaan Busana, Begini Serunya

Mereka mulai mempertimbangkan tren dan penilaian orang lain sebagai hal utama dalam berpakaian.

Perlahan, pakaian bukan lagi cerminan kepribadian. Melainkan tameng dari ketakutan akan penolakan sosial.

Pakaian sering menjadi identitas diri namun juga harus menyesuaikan diri untuk menghormati lingkungan sekitar. - Ines Ben Amor-Pinterest

Tidak semua bentuk penyesuaian berarti sebuah kepalsuan. Dalam beberapa kasus, memilih pakaian yang sesuai konteks bisa menjadi bentuk penghormatan.

Misalnya, mengenakan batik saat upacara resmi bukan berarti kita menghilangkan jati diri. Tapi menyesuaikan dengan budaya yang ada di negara sendiri. 

Akan tetapi, masalah akan muncul ketika penyesuaian itu berubah menjadi kewajiban yang membebani.

BACA JUGA:Keragaman Busana Para Tokoh dalam Peringatan Hari Kemerdekaan di Istana Merdeka

Ketika seseorang merasa tak cukup baik hanya karena tak berpakaian sesuai tren, maka pakaian telah kehilangan fungsinya sebagai ekspresi. Dan berubah menjadi alat tekanan sehingga bisa memicu ketidakpuasan diri.

Generasi muda, terutama Gen Z, menghadapi dilema itu lebih kuat. Di satu sisi, mereka dikenal lebih bebas berekspresi dan menolak standar konvensional.

Sumber: