Tari dan Identitas Bangsa: Refleksi Hari Tari Internasional dan Masa Depan Warisan Budaya Indonesia

Tari dan Identitas Bangsa: Refleksi Hari Tari Internasional dan Masa Depan Warisan Budaya Indonesia

ILUSTRASI Tari dan Identitas Bangsa: Refleksi Hari Tari Internasional dan Masa Depan Warisan Budaya Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

SETIAP 29 April, dunia merayakan Hari Tari Internasional sebagai penghormatan terhadap seni tari, ekspresi tubuh yang universal, melintasi batas bahasa, bangsa, dan budaya. Pada Hari Tari Internasional 2025 ini, refleksi atas perjalanan tari Indonesia menjadi sangat relevan, terutama dalam kaitannya dengan pengakuan internasional melalui UNESCO. 

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keragaman tari tradisional terbesar di dunia. Data tidak resmi menyebutkan, terdapat sekitar 3.000 jenis tari tradisional yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. 

Di antara jumlah tersebut, 671 tari tradisional telah tercatat secara resmi. Lalu, sebanyak 110 telah ditetapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) ke dalam daftar Warisan Budaya Takbenda Indonesia. 

BACA JUGA:Asal Usul Peringatan Hari Tari Sedunia 29 April

Dari jumlah itu, tari saman dan tari reog Ponorogo diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO pada kategori Urgent Safeguarding List pada 2011 dan 2024. Selain itu, tiga genre tari Bali yang meliputi tarian wali (sakral), bebali (semi-sakral), dan balih-balihan (hiburan) yang total mencakup lebih kurang sembilan jenis tarian juga masuk daftar pada 2015. 

Kemudian, pencak silat sebagai seni bela diri yang mengandung unsur tari juga mendapat pengakuan UNESCO pada 2019.

Pengakuan itu memiliki arti strategis sekaligus catatan kritis. Secara internasional, pengakuan mengukuhkan identitas budaya Indonesia di tengah arus globalisasi, sebagai modal upaya memperkuat upaya pelestarian terhadap warisan budaya sendiri. 

Namun, sebagai catatan kritis, terutama pada tari saman dan reog Ponorogo, pengakuan itu menjadi peringatan bagi Indonesia karena tarian tersebut dianggap pada posisi hampir punah sehingga diperlukan strategi dan program komprehensif untuk pelestariannya disertai dengan pengawasan dari seluruh dunia. 

Ada beberapa tantangan besar yang perlu dicermati dalam konteks masa depan tarian tradisional Indonesia. 

Pertama, komodifikasi dalam dunia pariwisata dan industri kreatif membuat tarian tradisional kerap dipertunjukkan hanya sebagai atraksi tanpa memperhatikan makna sakral dan filosofisnya. 

Namun, dilematisnya, itu membuka peluang ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pada tahun 2018, sebanyak 1,99 persen penduduk Indonesia terlibat dalam kegiatan seni. 

Angka itu turun menjadi 0,49 persen pada 2020. Namun, individu yang memperoleh penghasilan dari kegiatan seni menjadi 4,88 persen.

Kedua, regenerasi penari dan ahli waris budaya. Banyak tarian tradisional yang mulai kehilangan generasi muda yang mau mendalaminya secara serius. Tantangan modernisasi, perubahan gaya hidup, dan kurangnya insentif sosial-ekonomi membuat banyak tradisi tari mengalami stagnasi atau bahkan punah secara perlahan. 

Itu dipercepat juga karena pergeseran makna akibat urbanisasi dan globalisasi. Dalam Rencana Strategis Dirjen Kebudayaan 2020–2024 tercatat, banyak komunitas adat yang menjadi sumber tarian tradisional kini terdesak oleh perubahan sosial ekonomi, kehilangan ruang ekspresi budaya mereka, atau bahkan mengalami disrupsi identitas budaya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: