Game Zaman Now, Berat Tanpa Alasan?

Salah satu game yang memakan penyimpanan paling besar adalah GTA 6. --comicbook
HARIAN DISWAY –Dulu, hanya dengan PC rakitan murah dan RAM 2 GB, kita bisa memainkan GTA San Andreas dengan lancar. Atau menjelajah dunia Azeroth di World of Warcraft tanpa kipas laptop meraung keras.
Kini? Bahkan untuk membuka menu utama Call of Duty: Warzone saja, kita harus menunggu lima menit, mengorbankan setengah isi SSD, dan berharap komputer tidak mendadak jadi pemanggang roti.
Fenomena game modern yang berat dan tidak optimal bukan cuma keluhan satu dua gamer. Ini sudah jadi luka kolektif di komunitas gaming global. Kenapa bisa begitu?
BACA JUGA: 5 Game Kairosoft Terbaik: Ketika Game Pixel HP Membentuk Dunia yang Membuat Ketagihan
Mengapa game-game sekarang seperti menuntut perangkat luar biasa mahal, tapi performanya justru tidak sebanding? Mari kita gali akar masalahnya. Salah satu penyebab utama game modern semakin berat adalah ambisi visual yang kelewat batas.
Setiap studio game berlomba-lomba menghadirkan grafik yang realistis—dari tekstur ultra-HD, pencahayaan ray tracing, hingga animasi partikel yang lebih kompleks dari silabus mata kuliah fisika kuantum.
Crashbandicoot salah satu game lawas dengan penyimpanan kecil tetapi sangat bisa dinikmati. --technibuzz
Memang, visual indah bisa bikin kita terpukau. Tapi di balik itu, ada harga yang harus dibayar. Semakin banyak efek grafis, semakin besar pula beban kerja yang ditanggung CPU dan GPU.
BACA JUGA: 4 Poin tentang Penundaan Game Rockstar yang Berbuah Mahakarya
The Last of Us Part I versi PC, misalnya, menuntut RAM minimal 16 GB dan VGA kelas atas. Tapi hasilnya? Bahkan di komputer high-end, game ini sempat dipenuhi bug dan performa tidak stabil saat rilis pertama.
Ini seperti punya mobil sport mewah, tapi tiap hari terjebak di jalanan rusak. Indah, tapi tidak bisa dipakai dengan nyaman. Zaman dulu, pengembang game merilis produk yang benar-benar siap pakai.
Game dicetak dalam bentuk fisik, dan pembaruan (patch) sangat jarang dilakukan. Maka game harus stabil sejak awal. Tapi kini? Dengan budaya day one patch, banyak game dirilis dalam kondisi belum matang.
BACA JUGA: Main Game Billiard Master Dapat Saldo DANA Gratis Rp 292.500, Baru Rilis di Google Play Store!
Banyak studio, terutama yang berada di bawah tekanan publisher besar, dipaksa merilis game sesuai jadwal rilis tahunan—tanpa mempedulikan kesiapan teknisnya. Akibatnya, optimalisasi dikorbankan.
Daripada menyesuaikan engine dengan berbagai spesifikasi hardware, mereka melempar satu versi mentah, dan berharap akan diperbaiki kemudian lewat update bertubi-tubi.
Contohnya Cyberpunk 2077. Game ini jadi meme global saat rilis karena bug dan performa buruk. Padahal secara teknis dan naratif, ia punya potensi luar biasa.
BACA JUGA: 10 Emulator Konsol Terbaik di HP: Main Game Lawas Sekarang Jadi Gampang
Banyak game modern dibuat dengan engine serba bisa seperti Unreal Engine atau Unity. Ini memang efisien dan hemat waktu pengembangan. Tapi engine generik sering kali tidak dioptimalkan dengan baik untuk perangkat spesifik.
Ambil contoh Forspoken, game AAA yang dikritik habis karena performanya buruk bahkan di spesifikasi tinggi. Banyak yang menduga, engine internalnya terlalu berat dan tidak kompatibel dengan sebagian besar perangkat konsumen.
Game jadul, sebaliknya, biasanya dikembangkan dengan engine khusus. Studio seperti id Software, Valve, atau Rockstar merancang mesin mereka sendiri dan menyesuaikannya agar ringan, efisien, dan stabil.
BACA JUGA: 3 Rekomendasi Game Indonesia Terbaru yang Bisa Anda Mainkan
Selain berat, game modern juga rakus ruang. Satu game bisa mencapai 150 GB—bahkan lebih. Call of Duty: Modern Warfare misalnya, pernah mencapai 250 GB karena tidak adanya sistem kompresi data yang efisien.
Sebagian file tersebut bahkan bukan untuk gameplay utama, tapi untuk texture pack 4K yang tidak semua orang butuh. Padahal banyak gamer hanya ingin bermain di 1080p dengan setting medium.
Zaman dulu, developer lebih hemat dan kreatif. Game Half-Life 2 atau Max Payne hanya butuh beberapa gigabyte. Tapi tetap bisa memberikan pengalaman sinematik, imersif, dan berjalan lancar di banyak PC kentang.
BACA JUGA: Pengembang Elden Ring Umumkan 2 Game Baru Untuk Nintendo Switch 2
Faktor lain adalah perubahan target pasar. Banyak studio kini menargetkan gamer dengan perangkat high-end dulu, baru melakukan optimisasi ke bawah. Karena gamer “kelas atas” sering kali menjadi pasar yang vokal, pamer build PC mahal, dan siap membeli DLC atau item berbayar.
Mereka yang punya PC menengah ke bawah? Kerap diabaikan. Optimisasi sering kali datang terlambat, atau malah tidak dilakukan sama sekali.
Bandingkan dengan dulu, saat game seperti Counter-Strike, Diablo II, atau Warcraft III bisa dimainkan di warnet dengan komputer pas-pasan.
BACA JUGA: Cara Main Game Penghasil Saldo DANA Gratis Funny Screw dan Klaim Rp 497 Ribu
Tentu bisa. Kuncinya ada pada tekanan pasar. Ketika gamer mulai vokal menolak game berat dan tidak optimal, beberapa studio mulai berbenah. Hi-Fi Rush dari Tango Gameworks adalah contoh menarik: ringan, grafis stylized, dan berjalan mulus bahkan di PC sedang.
Selain itu, tren indie games juga membuka harapan. Banyak game kecil seperti Hades, Hollow Knight, atau Celeste yang tampil sederhana namun memiliki gameplay dan cerita luar biasa—tanpa membuat perangkat kita menderita.
Game seharusnya jadi hiburan, bukan beban. Tapi kini, banyak gamer direpotkan dengan berbagai hal—bukan hanya dari segi uang, tapi juga tenaga, kesabaran, dan kapasitas penyimpanan.
BACA JUGA: Cara Mendapatkan Saldo DANA di Game XWorld, Ini Triknya!
Kita tidak menolak kemajuan teknologi. Tapi apakah semua kemajuan harus dibayar dengan kehilangan nilai efisiensi dan optimalisasi? Dulu, keterbatasan melahirkan kreativitas. Sekarang, kelimpahan justru sering berujung kemalasan teknis.
Mungkin sudah waktunya industri game belajar dari masa lalu. Bahwa tidak semua yang megah itu indah. Kadang, yang sederhana justru yang paling menyenangkan—dan paling tahan lama. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: