Healing-Hedonism: Apa Semua Self-Reward Harus Beli Barang?

Self-reward seharusnya menjadi jembatan menuju perawatan diri yang bijak, bukan jerat yang mengarahkan pada lingkaran konsumsi tak berkesudahan. --Pinterest
HARIAN DISWAY - Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “self-reward” menjadi semakin populer, terutama di kalangan anak muda. Setelah menyelesaikan tugas berat atau melewati hari yang penuh tekanan, memberi hadiah pada diri sendiri dianggap bentuk apresiasi yang wajar dan memang, pada dasarnya tidak salah.
Namun, ketika penghargaan pada diri mulai selalu dihubungkan dengan pembelian barang-barang konsumtif, apakah itu masih tergolong sehat?
Fenomena ini dikenal sebagai healing-hedonism, sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kecenderungan seseorang mencari pemulihan emosional melalui konsumsi berlebihan.
BACA JUGA: Self Reward dan Healing, Sama-sama Self Care, Beda Tujuan
Fenomena ini erat kaitannya dengan reward culture, yaitu budaya memberikan hadiah kepada diri sendiri atas capaian sekecil apa pun, bahkan untuk hal yang bersifat rutinitas.
Kondisi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Budaya media sosial yang sarat pencitraan gaya hidup mewah dan unggahan “treat yourself” menjadi pemicu utama.
Seseorang merasa perlu membeli kopi mahal, skincare terbaru, atau gawai baru hanya karena merasa telah melewati hari Senin dengan baik. Padahal, tak semua bentuk pemulihan butuh pengeluaran materi.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah self-reward menjadi semakin populer, terutama di kalangan anak muda. --Pinterest
BACA JUGA: Self Reward sebagai Penunjang Produktivitas Gen Z
Self-reward sejatinya bertujuan menjaga kesehatan mental dan motivasi. Akan tetapi, seperti disampaikan oleh psikolog klinis A. Maureen Ariadna, M.Psi.
“Jika reward diberikan terlalu sering atau atas pencapaian yang tidak signifikan, ini bisa menurunkan kemampuan seseorang dalam menoleransi ketidaknyamanan.” Akibatnya, muncul pola pikir bahwa rasa tidak nyaman harus selalu diimbangi dengan sesuatu yang menyenangkan dan instan.
Ketika kebutuhan emosional hanya direspons dengan aktivitas konsumtif, maka timbullah risiko baru, yaitu tekanan finansial yang tidak perlu.
BACA JUGA: Tren No Spend Weekend, Hidup Hemat Ala Gen Z
Menurut survei Katadata Insight Center dan Kredivo tahun 2022, sebanyak 36% anak muda di usia 20–30 tahun pernah mengalami keterlambatan bayar cicilan akibat belanja impulsif, mayoritas di antaranya mengaitkan pembelian dengan perasaan ingin "merayakan diri".
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: