Satwa dalam Rimba Sosial Politik Indonesia

Satwa dalam Rimba Sosial Politik Indonesia

ILUSTRASI Satwa dalam Rimba Sosial Politik Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Sebaliknya, pihak Joko Widodo mengolok sebelah sana dengan sebutan kampret, kelelawar yang selalu mengendap cari makan di gelap malam. Pada 2025 majalah Tempo dikirimi bangkai kepala babi oleh sekelompok orang. Beberapa hari kemudian paket itu diberi bonus, bangkai tikus.

Satwa memang penghuni kebun binatang dunia rasa dan pikir orang Indonesia. Dari yang gagah perkasa seperti burung garuda (itu sebabnya lambang negara Indonesia adalah burung garuda, bukan keong racun) sampai yang melata nista seperti cacing dan kelabang.

Keragaman satwa dalam kultur Indonesia itu berbeda jika dibandingkan dengan yang ada di Barat. Orang Eropa dan Amerika Serikat umumnya memakai satwa adagium hanya terbatas pada simianisasi (simianization), yang menyamakan lawan dengan simian (simius, Latin), yakni kera atau monyet. 

Film animasi Sing yang tayang pada 2017 adalah contoh dari simianisasi itu. Film garapan Garth Jennings tersebut mendekatkan ras kulit berwarna dengan orang utan. Jenis satwa lain kurang dipedulikan.

Dalam budaya Jawa, ada ungkapan kodhok mangongkang jroning leng. Artinya, katak bernyanyi dalam liang. Ungkapan itu mengiaskan figur pemimpin karbitan yang ingin terlihat berwibawa bagi orang sekitarnya. Namun, sekali ngomong, tidak ada isinya.

Ada pula ungkapan kebo ilang tombok kandhang atau kerbau hilang tambah kandang. Maknanya, sudah kehilangan masih harus mengeluarkan biaya lagi sehingga kemalangan pun datang bertubi-tubi. 

Contohnya, ketidakpercayaan kepada kepolisian dan kejaksaan menyebabkan pemerintah membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Untuk mengawasi KPK, pemerintah membentuk Komite Etik KPK dan seterusnya. Biaya akhirnya menumpuk bertimpa-timpa. 

Ada juga peribahasa asu gede menang kerahe, yang artinya anjing besar hanya seru kala berkelahi. Itu cocok untuk dipikirkan para menteri yang selalu kelihatan militan membela rakyat, tetapi hasilnya tak kunjung muncul sampai setengah abad.

Koleksi satwa Indonesia terus bertambah. Pada dekade baru lalu tiba-tiba cecak dan buaya bergabung dalam koleksi. Dua satwa itu muncul ketika kepolisian bertikai lawan KPK. Cecak simbol dari KPK dan buaya simbol dari kepolisian. 

Sementara itu, DPR punya kebun binatang sendiri, dengan koleksi satwa yang membuat kita terharu. Ada karikatur yang menggambarkan oknum DPR sebagai tikus. Ada artikel yang mendeskripsikan DPR sebagai kucing garong. 

Ada pula karikatur yang menggambarkan warga DPR sebagai kecoa ijo. Kelahiran satwa itu diilhami atap hijau gedung DPR, yang apabila dihayati memang mirip sayap kecoa. 

Tokek juga sering muncul untuk menggambarkan teka-teki dan ketidakpastian keputusan yang dibacakan DPR. Mendapat hadiah berbagai satwa menyedihkan itu, warga DPR tenang-tenang saja. Mereka bilang, ”Burung elang yang terbang tinggi akan selalu mendapat terpaan angin yang kencang sekali”.

Satwa di dalam dunia sosial politik Indonesia memang acap menjadi nista. Padahal, Butir-Butir Budaya Melayu Riau mengajarkan agar kita selalu berbaik kata dengan satwa. Maka, baca pantun satwa nan bijak berikut:

Kalau suka memelihara itik

Tentulah banyak dapat telurnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: