Di Balik Maraknya Jasa ’’Hapus Jejak AI’’ di Tiongkok: Adu Cepat Integritas Akademik dan Inovasi Teknologi

Di Balik Maraknya Jasa ’’Hapus Jejak AI’’ di Tiongkok: Adu Cepat Integritas Akademik dan Inovasi Teknologi

MAHASISWA KELUAR dari kampusnya di Beijing Foreign Studies University di Beijing, 29 Mei 2025. Mereka kian akrab dengan kecerdasan buatan.-JADE GAO-AFP-

Layanan yang lebih khusus—benar-benar sesuai permintaan pelanggan—bahkan dibanderol; hingga 20 ribu yuan atau sekitar Rp 45 juta. Artinya, inovasi teknologi justru dijadikan peluang bisnis di celah regulasi.

Namun, pengawasan terhadap industri itu sulit dilakukan. Luo menyentil bahwa jasa tersebut berada di persimpangan otoritas. Yakni, antara pendidikan, pengawasan pasar, keamanan siber, dan teknologi. Di sisi lain, belum ada batas etika akademik yang tegas mengenai penggunaan AI dalam penyusunan karya ilmiah.

BACA JUGA:Maskapai Lirik Kecerdasan Buatan, Pilot Lebih Butuh Asisten Kecerdasan

BACA JUGA:Jadi Prodi Baru di Untag, Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan Difokuskan pada Penerapan AI

“Ketiadaan batas tersebut membuat layanan semacam itu tumbuh diam-diam dan cepat,” ujar Luo. Taktik perpindahan platform dan metode pembayaran, tambahnya, memang ditujukan untuk menyulitkan penelusuran bukti oleh konsumen.

Padahal, keluhan demi keluhan terus muncul. Pelanggan mengaku uangnya tersedot tapi layanan tidak memuaskan. Duit tidak bisa kembali.

Misalnya, seorang perempuan membayar 3 ribu yuan (sekitar Rp 6,7 juta) agar skripnya tidak terasa seperti karya AI. Ketika dideteksi di awal, tingkat kemiripan dengan AI sekitar 70 persen. Perempuan itu minta diturunkan jadi 20 persen. Tapi, ketika diperiksa ulang oleh kampus, tingkat kemiripannya dengan AI masih 60 persen.

Perempuan itu tak bisa komplain. Penyedia jasa sudah tidak bisa lagi dihubungi. Akhirnya, dia pun merevisi sendiri. Uangnya melayang.


CALON MAHASISWA berjalan setelah merampungkan Ujian Masuk Kuliah Nasional atau Gaokao di Beijing, 7 Juni 2025.-AGENCE FRANCE-PRESSE-

Itu belum soal keluhan lain. Misalnya, bahasa yang tidak akademis, kalimat yang terpenggal, atau alur logika yang tidak konsisten.

Chu Zhaohui, peneliti di China National Academy of Educational Sciences, mengatakan bahwa pesatnya perkembangan teknologi AI membuat aturan hukum sulit mengejar. Ia menyarankan agar kampus melakukan pendekatan lain. Yakni, etika akademik di kalangan mahasiswa.

Sementara itu, Li Juan, dosen hukum di Central South University, memperkirakan bahwa 60-80 persen mahasiswa menggunakan AI dalam skripsi mereka tahun ini. Aplikasinya beragam. Baik untuk merapikan kalimat hingga menyusun isi.

Persentase pengguna AI itu melonjak tajam dibanding tahun lalu.

BACA JUGA:Jadi Prodi Baru di Untag, Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan Difokuskan pada Penerapan AI

BACA JUGA:Munas Alim Ulama NU Tahun 2023 Bahas 7 Isu Utama, Mulai Dari Kecerdasan Buatan Hingga Sekolah 5 Hari

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: