Refleksi Bulan Pancasila, Juni 2025: Pancasila di Tengah Pluralisme Ideologi

Refleksi Bulan Pancasila, Juni 2025: Pancasila di Tengah Pluralisme Ideologi

ILUSTRASI Refleksi Bulan Pancasila, Juni 2025: Pancasila di Tengah Pluralisme Ideologi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Pada saat yang sama, masyarakat Indonesia harus menjadi kuli di negeri sendiri. Sebuah realitas sosial-ekonomi yang sangat ironis dan tragis. Apakah itu yang dinamakan nasionalisme? 

Nasionalisme Indonesia sudah tergadaikan. Belum lagi di bidang politik, sosial, dan budaya, kondisinya juga jauh dari nilai dan dasar Pancasila. 

Pendek kata, Pancaila saat ini –pelan tapi pasti– sudah mulai ditinggalkan. Para penyelenggara negara lebih kagum dengan ideologi dan sistem hidup negara asing daripada dengan sistem hidupnya sendiri.  

Karena itu, sangat tepat bila Muhammadiyah terus mengampanyekan gerakan jihad konstitusi. Sebuah ”perang suci” melawan banyak peraturan perundangan-undangan yang bertentangan dengan spirit dan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, terutama peraturan perundangan-undangan yang terkait dengan tata kelola ekonomi nasional yang dinilai sangat liberalistis dan kapitalistis. 

Jihad konstitusi dilakukan melalui jalan konstitusional: judicial review ke Mahkamah Konstitusi. 

MEMBUMIKAN NILAI-NILAI PANCASILA 

Mantan Presiden B.J. Habibie merasa prihatin dengan nasib Pancasila. Para penyelenggara negara sepertinya sudah terjangkit penyakit amnesia atas ideologinya sendiri. Dalam pidatonya tentang Pancasila pada 1 Juni 2011, Habibie menyatakan bahwa Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. 

Pancasila makin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan, maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang makin hiruk pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Nasib Pancasila memang mengenaskan. Sebagai ideologi negara, Pancasila tak ubahnya seperti sebuah kata-kata yang diucapkan ketika upacara dan acara seremonial negara. Menurut Habibie, ada dua faktor penyebab Pancasila terlupakan. 

Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah, baik di tingkat domestik, regional, maupun global. 

Perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. 

Kedua, terjadinya euforia reformasi sebagai akibat traumatik masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. 

Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru berimplikasi pada munculnya ”amnesia nasional’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama, dan afiliasi politik. 

Oleh karena itu, keberadaan Pancasila saat ini seperti ”ada dan tiada”. 

Secara fisik ada dan bahkan kerap kali Pancasila dijadikan ”mantra dan panjangan” dalam berbagai kegiatan formal kenegaraan. Namun, sebenarnya tiada, nilai-nilai dasar Pancasila tidak mewujud secara riil dalam pola perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara kita. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: