Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (11): Segunung Tantangan S3

Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (11): Segunung Tantangan S3

Para mahasiswa doktoral dari berbagai universitas di Finlandia yang mengambil mata kuliah Kataja Current Topics and Methodologies in Supply Chain Management di Aalto University.--Mushonnifun Faiz S

Di Finlandia, beberapa teman saya tergabung dalam project supervisor sehingga ada garansi pendanaan. Ada yang tergabung dalam national doctoral pilot project yang digagas oleh kementerian pendidikan Finlandia tahun kemarin untuk membiayai ratusan PhD candidate secara penuh sampai tiga tahun. 

Nah, untuk case saya, saya tidak termasuk ke semuanya. Sehingga saya harus terus menerus meng-apply pendanaan dari berbagai research foundation di Finlandia.

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (2): Drama Berlanjut di Sheffield

Di Finlandia ada sekitar 200-an lebih research foundation yang memberikan pendanaan aneka macam penelitian, proyek, kesenian, penulisan buku, dan lainnya yang bertujuan untuk berkontribusi pada ilmu pengetahuan. Termasuk juga funding opportunity khusus mahasiswa PhD. 


Diapit thesis supervisor, Anna Aminoff (kiri), dan Suvi Leinonen doctoral researcher dari University of Oulu, saat menerima penghargaan insentif untuk disertasi doctoral dari The Finnish Association of Purchasing and Logistics (LOGY).--Mushonnifun Faiz S

Ini yang membuat saya berdecak kagum dan geleng-geleng. Sebab di CSR perusahaan (rata-rata research foundations merupakan bagian dari perusahaan atau bisnis) dipergunakan untuk membiayai riset. 

Sementara di Indonesia lebih untuk membantu grassroot. Misalnya pengembangan UMKM, bagi sembako, dan lainnya. Walaupun ada juga yang menginvestasikan ke beasiswa pendidikan. 

BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (9): Enaknya Kuliah PhD di Hanken

Dibandingkan dengan Indonesia, di Finlandia yang jumlah mahasiswa dan dosen lebih sedikit -dengan jumlah penduduk lebih sedikit yakni hanya sekitar 5.5 juta populasi- tapi kesempatan pendanaan berasal dari 200-an research foundation

Sementara di Indonesia sudah dana risetnya kecil, hanya bergantung pada dana internal kampus serta dari Kemdikbud. Untuk saya sendiri saja, di bidang business and management saya sudah mengirim aplikasi ke 11 research foundation yang berbeda dalam setahun terakhir. 

Sementara saya ketika berkarier menjadi dosen, secara aturan, hanya eligible untuk mengajukan penelitian dana internal departemen saja (yang eligible menjadi ketua). Pelaporan kepada research foundation juga simpel, tidak melulu soal output penelitian, harus sudah publish di scopus seperti di Indonesia.

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (3): Mewujudkan Visualisasi Novel

Tidak perlu ada SPJ, SPJTM, materai, tanda tangan berkali-kali, bukti transfer, foto pakai tag GPS, stempel cap basah seperti di Indonesia. Kadang malah cukup 1-3 halaman yang menceritakan dananya dipakai apa dan progres risetnya sampai mana. 

Nah, tapi tantangannya sudah tentu menentukan niche dari penelitian ini dan membungkus penelitian supaya terkoneksi dengan business dan society di Finlandia. Saya sempat stres karena mengetahui penelitian saya ini di Indonesia, tentang coffee supply chains dan faktanya di Finlandia kopi-kopi yang dipasarkan berasal dari Amerika Selatan. 

Namun, supervisor saya berkata bahwa bisa kok dikait-kaitkan. Itulah seninya menulis aplikasi funding. Bagi saya ini menantang. Seolah jalan Allah untuk mengakselerasi belajar saya. Nanti pasca S-3 sudah tentu saya dituntut untuk memenangkan research grant internasional. Kondisi sekarang membuat saya justru belajar menulis aplikasi funding sejak hari pertama saya menjalani S3. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: