Perang Narasi Soal Iran Pascakonflik dengan Israel, Antara Cinta Negeri atau Ubah Rezim

POSTER ABOLFAZL ADIZENADEH, remaja 17 tahun yang ditembak mati aparat Iran, dibawa oleh warga yang berdemo di Los Angeles, 23 Juni 2025. Mereka menyuarakan pergantian rezim di Iran.-FREDERIC J. BROWN-AFP-
Konflik bersenjata antara Iran dan Israel dalam dua pekan terakhir tak hanya memicu korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Lahir pula perang narasi yang tajam antara masa depan Negeri para Mullah itu. Di satu sisi, warga Iran menyatakan cinta mendalam pada pemerintahan. Di sisi lain, keinginan untuk mengganti rezim juga menggema. Baik dari diaspora atau suara-suara lirih di dalam negeri.
PERNYATAAN Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini menjadi bahan bakar terbaru dalam perdebatan tersebut. Trump menegaskan bahwa ia tidak ingin ada pergantian rezim di Iran.
’’Kalau memang terjadi, ya terjadilah. Tapi, saya tidak ingin itu. Saya ingin semuanya segera mereda,’’ kata Trump kepada wartawan saat terbang di Air Force One, Selasa, 24 Juni 2025.
’’Pergantian rezim itu membawa kekacauan. Dan sebaiknya memang tidak ada kekacauan,’’ ucapnya seperti dikutip kantor berita Agence France-Presse.
BACA JUGA:Iran Buka Kembali Wilayah Udara di Bagian Timur Setelah Gencatan Senjata dengan Israel
BACA JUGA:Trump Marah Disebut Serangan AS ke Iran Gagal, Minta Jurnalis yang Memberitakan Dipecat
Tapi, di tempat lain, wacana perubahan rezim mengemuka. Misalnya komunitas diaspora Iran di Los Angeles. Mereka menyebut diri sebagai Tehrangeles.
Di kota itu, ada sekitar 200 ribu warga keturunan Iran. Itu adalah jumlah minoritas Iran yang terbesar di luar negeri. Komunitas itu adalah episentrum aspirasi dan nostalgia pada tanah air yang mereka tinggalkan. Juga tempat berkumpul orang-orang yang menginginkan ’’Iran baru.’’
Di sebuah toko kelontong khas Timur Tengah milik Mohammad Ghafari, diskusi tentang masa depan Iran tak pernah usai. Ghafari meninggalkan Iran sebelum Revolusi 1979. Ia mengaku masih khawatir terhadap nasib kerabatnya di Iran. Terutama setelah serangan AS terhadap situs nuklir Iran.
PRESIDEN DONALD TRUMP didampingi Menlu Marco Rubio berbicara kepada wartawan seusai memeriksa laporan pengeboman di Iran, 21 Juni 2025.-GETTY IMAGES VIA AFP-
Tapi, di balik kecemasannya, Ghafari juga menyimpan harapan. "Iran tidak mampu memberi makan rakyatnya. Kalau rakyat di sana bahagia dengan perubahan rezim, saya juga akan bahagia," katanya
Kalimat itu diamini Fereshteh, pelanggannya. Fereshteh juga orang Iran yang bermukim di Los Angeles. ’’Donald Trump adalah pahlawan,” cetusnya.
Fereshteh keturunan Yahudi. Lari dari Iran pada 1980-an. Ia merasa, serangan Trump terhadap Iran adalah bentuk keberanian. Aksi itu, katanya, membuka harapan pada kebebasan. "Ini saatnya rakyat Iran bangkit. Rezim sekarang sedang lemah," katanya.
Meski begitu, ada juga yang skeptis. ’’Perubahan paksa dengan kekuatan tidak akan sukses. Perubahan harus datang dari dalam. Oleh rakyat, untuk rakyat. Dan kita—orang Iran—belum sampai pada titik itu,’’ kata seorang insinyur berusia 68 tahun. Ia minta namanya disamarkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: