MK Tegaskan Larangan Wakil Menteri Rangkap Komisaris BUMN, Ini Daftar 30 Orang Wamen yang Merangkap Komisaris BUMN

MK Tegaskan Larangan Wakil Menteri Rangkap Komisaris BUMN, Ini Daftar 30 Orang Wamen yang Merangkap Komisaris BUMN

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengucapan putusan uji rangkap jabatan, pada Kamis (17/7/2025) di ruang sidang Pleno MK.-Mahkamah Konstitusi RI-

25. Juri Ardiantoro - Wakil Menteri Sekretaris Negara – Komisaris Utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk. 

26. Eko Suhariyanto - Wakil Menteri Sekretaris Negara – Komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

27. Taufik Hidayat - Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga – Komisaris PT PLN Energi Primer Indonesia. 

28. Ferry Juliantono - Wakil Menteri Koperasi – Komisaris PT Pertamina Patra Niaga. 

29. Stella Christie - Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi – Komisaris PT Pertamina Hulu Energi. 

30. Arif Havas Oegroseno - Wakil Menteri Luar Negeri – Komisaris PT Pertamina International Shipping.

BACA JUGA:Kementerian Ekraf Beri Apresiasi pada Pameran Seni ARTJOG sebagai Wujud Ekonomi Kreatif

BACA JUGA:Pemkot Pasuruan Tuntaskan 34 Koperasi Merah Putih  

Fenomena ini memunculkan kritik karena dinilai menabrak etika publik, memperbesar potensi konflik kepentingan, dan menurunkan efektivitas birokrasi.

Argumen pemerintah dan sejumlah anggota DPR menyatakan bahwa tidak ada larangan eksplisit dalam amar putusan MK, hanya pada pertimbangan hukum.

Namun, ini mengabaikan asas bahwa pertimbangan hukum MK adalah bagian dari ratio decidendi yang bersifat mengikat secara hukum.

Dari sudut pandang administrasi publik, rangkap jabatan menciptakan beban kerja berlebih dan tumpang tindih kewenangan. Laporan OECD (2021) menyebut pejabat publik dengan jabatan ganda mengalami penurunan performa hingga 24%.

BACA JUGA:Bisakah MPR menafsirkan putusan MK?

BACA JUGA:BRI Berdayakan 41 Ribu Klaster Usaha untuk Dorong Pertumbuhan UMKM di Seluruh Indonesia

Data LAN (2023) menunjukkan bahwa beban kerja wakil menteri rata-rata 52 jam per minggu, artinya, penambahan peran sebagai komisaris justru memperparah inefisiensi.

Kini saatnya presiden dan jajaran pemerintah menunjukkan komitmen nyata terhadap etika dan reformasi birokrasi. Jika tidak, publik berhak bertanya: siapa sebenarnya yang sedang dilayani—negara, partai, atau kepentingan pribadi.(*)

*) Mahasiswa magang dari Prodi Antropologi, Universitas Airlangga|

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: