Larangan Ekspor Bahan Minyak Goreng Perparah Krisis Pangan Dunia

Larangan Ekspor Bahan Minyak Goreng Perparah Krisis Pangan Dunia

Minyak goreng melimpah di salah satu supermarket di Sidoarjo, Jawa Timur.-Boy Slamet-Harian Disway-

SURABAYA, DISWAY - Larangan ekspor bahan baku minyak goreng yakni refined, bleached, deodorized palm olein (RBDPO) berlaku efektif hari ini (28/4). Presiden Joko Widodo memberlakukan dua cara agar harga minyak goreng curah di pasaran sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET): Rp 14.000 per liter.

 

Cara pertama adalah menerapkan pembayaran selisih harga oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tanpa mengurangi good governance dari BPDPKS yang diberikan ke produsen. Selama ini pengusaha yang telah memproduksi dan mendistribusikan produk minyak goreng curah dapat mengajukan klaim pembayaran subsidi BPDPKS.

 

Besaran subsidi tersebut dihitung dari selisih Harga Eceran Tertinggi (HET) dengan Harga Acuan Keekonomian (HAK). Keputusan Direktur Utama BPDPKS Nomor 147 Tahun 2022 menetapkan, nilai HAK sebesar Rp 21.034 per kilogram atau Rp 18.930 per liter.

 

Kedua, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) dapat mandat untuk mendistribusikan minyak goreng curah kepada masyarakat di pasar-pasar tradisional, terutama minyak goreng yang berasal dari kawasan pelarangan ekspor. Yang produsennya tidak memiliki jaringan distribusi. "Pengekspor yang tidak punya jaringan distribusi bisa memberikan penugasan kepada Bulog," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers kemarin.

 

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir belum memberi lampu hijau kepada Bulog untuk melakukan mandat itu. Butuh waktu untuk mengkaji tugas berat yang dibebankan ke perusahaan plat merah itu. "Kita pelajari dulu. Karena jangan sampai kita bilang sanggup, padahal kita enggak sanggup," ucap menteri kelahiran 30 Mei 1970 tersebut.

 

Erick mengikuti Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) yang digelar dua hari lalu. Selain Bulog, BUMN juga diminta ikut membantu proses intervensi pasar untuk mempercepat penyebaran minyak goreng bersubsidi tersebut. 

 

Ia mengatakan, salah satu tugas BUMN adalah penyeimbang pasar. Jika suatu komoditas hanya dikuasai segelintir orang saja, maka akan berpengaruh terhadap industri nasional. Monopoli bisa membuat harga di pasar sulit dikendalikan. 

 

Pakar ekonomi Universitas Airlangga Gigih Prihantono sudah sejak lama mengusulkan keterlibatan Bulog untuk pengaturan harga minyak goreng di pasaran. Bulog bisa menjadi satu buffer stock. “Saat harga barang tidak terkendali, stok dari Bulog bisa dikeluarkan,” ujarnya.

 

Gigih juga menilai kebijakan larangan ekspor itu memiliki banyak risiko. Salah satunya memperburuk situasi krisis pangan dunia. Harga komoditas lain juga bisa ikutan naik karena rantai perdagangan pangan saling berkaitan.

 

Harga minyak nabati memang sedang meroket imbas Invasi Rusia ke Ukraina yang bergulir lebih dari dua bulan. Ukraina adalah salah satu eksportir minyak biji bunga matahari terbesar di Dunia. India dan beberapa negara timur tengah adalah pelanggan Ukraina. Saat kiriman dari Ukraina dihentikan, banyak negara beralih ke minyak sawit. 

 

Saat permintaan meningkat, harga minyak sawit ikut naik. Harga CPO per 28 April 2021 mencapai RM 3.883,1 atau setara Rp 12.844.408. Kemarin harganya RM 6.990 atau setara Rp 23.121.920. Nyaris naik dua kali lipat dalam setahun.

 

Gigih menilai pemerintah perlu berkompromi agar kebijakan larangan ekspor diubah menjadi kebijakan kuota ekspor. Tujuannya apa? Agar Indonesia masih dapat melakukan negosiasi dengan mitra dagang yang memiliki surplus komoditas pangan lain, seperti gula, bawang putih maupun kedelai.

 

Harga komoditas pangan dunia juga berlipat ganda akibat pandemi dan invasi Rusia itu. Kedelai misalnya. Kenaikan harga kedelai dalam setahun terakhir membuat pengusaha tahu dan tempe di Indonesia kelabakan.

 

Harga kedelai Impor saat ini sudah mencapai Rp 14 ribu. Produsen tahu dan tempe berharap harga kedelai bisa normal lagi: Rp 10 ribu per kilogram.

 

Karena itulah strategi larangan ekspor juga harus dibarengi dengan manajemen impor dan distribusi pangan. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama adalah akurasi data, sehingga jumlah impor pangan memang sesuai kebutuhan. 

 

Kedua, kontrol terhadap pelaku, jumlah dan momentum. Bulog dan BUMD pangan milik Pemkab perlu diberikan peran lebih dalam mengatur kuota impor untuk bahan pangan strategis. 

 

Ketiga, keberanian pemerintah menindak mafia pangan seperti pelaku penimbunan maupun kartel. Gigih juga menambahkan pemerintah perlu memperhatikan nasib petani. Akses petani mendapat pupuk terjangkau masih menjadi masalah menahun yang belum bisa terselesaikan. “Padahal akses petani terhadap pupuk terjangkau adalah kunci untuk memenuhi permintaan minyak goreng dan komoditas pangan,” ujar pendiri Chaakra Consulting itu.

 

Menurutnya perkara pangan harusnya bukan lagi soal “pasar” ketika bisnis menjadi motor utama. Terjadi spontanitas transaksi ekonomi tanpa komando. Harus ada strategi pengelolaan sumber daya pangan. “Dan kalau kita gagal melakukan hal tersebut, maka dalam bahasa Thomas Pikety, kita turut andil menyuburkan neoliberalisme di bidang ketahanan pangan,” sebutnya. (Salman Muhiddin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: