Pembunuhan Sesama Karyawan BPS Haltim: Stalker Killer dari Maba

ILUSTRASI Pembunuhan Sesama Karyawan BPS Haltim: Stalker Killer dari Maba.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Hari demi hari mayat Tiwi kian membusuk. Teman kerja Tiwi bernama Angga J. Batara menghubungi HP Tiwi via WA pada Rabu, 23 Juli 2025, masih terbalas. HP Tiwi, yang dipegang Hanafi, menyatakan Tiwi masih cuti liburan.
Minggu, 27 Juli 2025, Hanafi dan A menikah. Teman-teman kerja mereka hadir. Mereka bertemu di resepsi itu. Mereka tidak melihat Tiwi, padahal Tiwi serumah dengan A.
Kamis, 31 Juli 2025, Angga menelepon HP Tiwi. HP tidak aktif. Penasaran, Angga mengajak satpam kantor mengecek ke mes dinas. Tiba di depan kamar Tiwi, mereka mencium bau busuk. Mereka mendobrak pintu. Mayat Tiwi ditemukan sudah membusuk. Polisi menyelidiki.
Senin malam, 4 Agustus 2025, Hanafi menyerahkan diri ke Polda Maluku Utara. Ia langsung mengakui ke polisi, ia membunuh Tiwi.
Polisi menyatakan, A sudah diperiksa intensif, dinyatakan tidak terlibat pembunuhan itu. A dalam kondisi syok setelah mengetahui Hanafi membunuh Tiwi. Usia pernikahannya baru delapan hari.
Dari kronologi itu, rencana pembunuhan teratur rapi. Penguntitan membuat penentuan hari eksekusi yang tepat, terkait skenario korban cuti sepekan. Itu menunda penemuan mayat.
Dikutip dari The New York Times, 25 Agustus 1998, berjudul Researchers Unravel the Motives of Stalkers, karya Jane E. Brody, diungkap pendapat pakar tentang penguntit.
Dijelaskan, meski penguntitan telah ada sejak berabad-abad lalu, penguntitan merupakan kejahatan yang relatif baru.
Kali pertama dinyatakan ilegal di Amerika Serikat (AS) melalui undang-undang California tahun 1990, kemudian oleh undang-undang di setiap negara bagian dan Distrik Columbia.
Definisi hukum dan penangkapan yang diakibatkannya membuka jalan bagi penelitian ilmiah. Riset dirangkum untuk kali pertama dalam buku The Psychology of Stalking: Clinical and Forensic Perspectives yang disunting oleh J. Reid Meloy dan diterbitkan pada 1998 oleh Academic Press.
Diungkapkan, berdasar data Departemen Kehakiman AS, 1989, ada sejuta perempuan dan 400 ribu laki-laki diganggu para pengejar yang tak kenal lelah (penguntit). Penguntit melecehkan, meneror, dan dalam beberapa kasus membunuh korban atau siapa pun yang dianggap menghalangi tujuan yang diinginkan pelaku.
Namun, hanya sekitar setengah dari korban penguntitan yang melapor ke polisi, menurut penelitian.
Ketika korban melapor, polisi di sana umumnya tidak mengambil tindakan, sampai korban terluka secara fisik atau diancam dengan senjata. Dari situ polisi menerapkan pasal penganiayaan atau pengancaman senjata.
Sebagian besar penguntit mengancam korban dengan kekerasan atau mengatakan mereka akan merusak properti atau melukai hewan peliharaan.
Hal itu mengakibatkan tekanan emosional yang akut pada hidup korban. Beberapa korban kehilangan pekerjaan ketika diganggu penguntit di tempat kerja dan beberapa lainnya terpaksa pindah dan mengubah identitas serta penampilan mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: