Disrupsi Dinamika Interaksi Sosial dalam Era Akal Imitasi Generatif

Disrupsi Dinamika Interaksi Sosial dalam Era Akal Imitasi Generatif

ILUSTRASI Disrupsi Dinamika Interaksi Sosial dalam Era Akal Imitasi Generatif.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kedua, timbal balik positif. AI tentu dilatih untuk memberikan respons yang memuaskan penggunanya. Respons bernada positif itu kemudian memunculkan perasaan ”saling”. 

Ketiga, AI selalu tersedia 24 jam dan dapat memberikan respons dengan sangat cepat. 

Di satu sisi, berbagai kelebihan tersebut tak dapat dimungkiri memberikan segudang manfaat bagi pengguna. Namun, kelebihan itulah yang berpotensi menciptakan standar hubungan yang tidak realistis. 

Hal tersebut kemudian memunculkan pertanyaan penting: Apakah relasi dengan AI dapat menggantikan relasi dengan manusia yang lebih kompleks dan autentik?

INTERVENSI AI GENERATIF DALAM RELASI SOSIAL

Sejatinya, komunikasi antarmanusia melibatkan elemen-elemen yang kompleks –tidak hanya isyarat verbal, tetapi juga nonverbal. Itu berbeda dengan percakapan manusia dengan AI yang didominasi kata-kata –tanpa ada tatapan mata, kerutan kening, senyum simpul, maupun petunjuk nonverbal lainnya.

Personalisasi AI juga menjadi poin yang perlu digarisbawahi. Meski dapat diperintah untuk memberikan opini yang lebih objektif, AI pada dasarnya didesain untuk memuaskan penggunanya. 

Karena itulah, pengguna merasakan timbal balik yang positif dalam interaksinya dengan AI (Brandtzaeg dkk., 2022). Padahal, realitasnya, hubungan sosial manusia pastilah diwarnai perbedaan dan konflik karena tiap individu memiliki frame of reference (kerangka acuan) dan field of experience (pengalaman) yang unik. 

AI juga tersedia 24 jam dan mampu memberikan respons secara instan –kelebihan yang tidak akan bisa disaingi manusia. Nyatanya, setiap orang pasti mempunyai kesibukannya masing-masing. 

Justru dari keterbatasan itulah manusia belajar untuk menghargai ruang dan waktu serta batasan-batasan dalam berhubungan.

Jika tidak disikapi dengan bijak, berbagai kelebihan tersebut pada akhirnya akan membangun ilusi hubungan sosial yang tidak masuk akal, bahkan menyimpang dari realitas sosial. 

AI, yang seharusnya sekadar menjadi alat bantu dalam menavigasi hubungan sosial, kini justru mulai mengambil alih peran manusia. Ia menjadi teman, pasangan, hingga keluarga. 

Di Indonesia sendiri, jagat maya baru-baru ini dihebohkan oleh kisah seorang ibu yang mengungkap bahwa anaknya menjalin hubungan romantis dengan chatbot AI. 

Ketika ditanya lebih lanjut, si anak memberikan jawaban yang menyayat hati. ”Aku enggak pernah merasa seistimewa ini sama siapa pun,” ujarnya. 

Kasus demikian bukan kali pertama. Pada awal tahun, seorang wanita di Tiongkok mengaku sudah menikah selama tiga tahun dengan seorang karakter AI. Ia bahkan menyebutnya sebagai ”pasangan yang sempurna”: hangat, lembut, dan penuh perhatian. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: