Sound Horeg dan Kontestasi Moral Publik

ILUSTRASI Sound Horeg dan Kontestasi Moral Publik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Tidak semua praktik lahir dari masyarakat otomatis suci dan tidak semua hiburan jalanan patut dibiarkan berkembang liar tanpa kendali.
Tentu, pelarangan tidaklah cukup. Budaya bukanlah benda mati yang bisa dihentikan dengan satu fatwa atau imbauan. Ia hidup, bergerak, dan tumbuh bersama masyarakatnya. Karena itu, sound horeg tidak perlu dihapus, tetapi ditata ulang.
Dentuman suara boleh tetap hadir, asal berada dalam batas wajar. Pesta jalanan bisa berlangsung selama tidak merusak rumah warga atau membungkam kenyamanan lingkungan sekitar.
Solusi lebih tepat adalah pendekatan partisipatif. Pertama, diperlukan regulasi teknis yang jelas mengenai ambang batas desibel, jam operasional, dan titik lokasi yang diperbolehkan.
Kedua, edukasi komunitas harus digalakkan agar para pelaku sound system memahami dampak kesehatan, etika penggunaan, hingga tata cara yang tidak merugikan orang lain.
Ketiga, dilakukan kurasi dan rekontekstualisasi, yakni membingkai ulang ekspresi budaya itu agar tetap relevan dengan konteks sosial tanpa tercerabut dari akarnya.
Keempat, dibutuhkan kolaborasi multipihak (mulai warga, komunitas, akademisi, pemerintah daerah, hingga aparat keamanan) untuk menciptakan ruang dialog dan wadah festival yang lebih sehat.
Dengan cara itu, sound horeg bukan tidak mungkin menjelma menjadi ikon budaya baru Jawa Timur: energik, khas, tetapi tetap etis.
Ia bisa menjadi contoh bagaimana ekspresi budaya jalanan diakomodasi, bukan dengan populisme normatif atau larangan represif, melainkan lewat penataan kolektif yang memadukan kebebasan dan tanggung jawab. (*)
*) Nimas Safira Widhiasti Wibowo adalah dosen komunikasi, UPN ”Veteran” Jawa Timur.
*) Probo Darono Yakti adalah ketua Budaya Nusantara Seni Tradisi Lokal dan dosen hubungan internasional, FISIP, Unair.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: