Pajak 250 Persen dan Psikologi Massa: Emosi Kolektif dan Kearifan Lokal

Pajak 250 Persen dan Psikologi Massa: Emosi Kolektif dan Kearifan Lokal

ILUSTRASI Pajak 250 Persen dan Psikologi Massa: Emosi Kolektif dan Kearifan Lokal.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Tradisi seperti itu dapat menjadi inspirasi model partisipasi publik: pemerintah hadir langsung di tengah keramaian pasar, membuka lebar-lebar pintu dialog, mendengar keluhan warga –tanpa formalitas yang kaku dan tanpa protokol yang menjauhkan.

Dengan modal budaya yang kaya, partisipasi publik di Pati tidak harus terpaku pada prosedur SOP yang kaku. Ini soal inovasi. Contoh gagasan yang bisa ditawarkan: Pentas Rakyat”Ngudar Kawruh” (berbagi ilmu). 

Sengaja digunakan bahasa Jawa agar lebih akrab di telinga. Ide pertunjukan seni tradisional itu dikemas khusus untuk menyampaikan penjelasan kebijakan dan membuka sesi tanya jawab dengan warga. 

Meski terinspirasi dari nilai dan tradisi lokal seperti rembuk desa dan pertunjukan seni rakyat yang sering disisipi pesan moral, konsep itu adalah program inovatif yang dirancang agar terasa akrab, menghibur, sekaligus memperkuat keterlibatan masyarakat.

Berbeda dengan kearifan lokal yang sudah mengakar, kreasi lain yang bisa dikembangkan, antara lain, adalah program ”Hadir & Tayang Langsung dari Lokasi” yang memanfaatkan teknologi untuk memperkuat partisipasi publik. 

Tujuannya sederhana: menghadirkan pejabat langsung dari lokasi proyek, membaur dengan warga, menjelaskan kebijakan, lalu menjawab komentar warga secara live, real-time. Bukan tradisi lama, melainkan gagasan itu bisa mengambil semangat keterbukaan dari budaya Pati untuk membuat komunikasi pemerintah lebih cepat, transparan, dan terasa dekat. 

Cara-cara seperti itu membuat kebijakan hadir di ruang yang nyaman bagi warga, tanpa kehilangan substansi.

Seandainya sebelum kebijakan kenaikan pajak itu diumumkan, proses dialog yang memanfaatkan kekuatan budaya dan teknologi dilakukan secara lebih luas dan intensif, mungkin ceritanya akan berbeda. 

Publik bisa merasa lebih nyaman, merasa dilibatkan, dan bahkan berpeluang memberikan masukan tentang bagaimana kenaikan dilakukan secara bertahap. Itulah esensi partisipasi: membangun rasa memiliki terhadap kebijakan sehingga potensi resistansi dapat berkurang dan perlahan berubah menjadi dukungan.

Pada akhirnya, persoalan ini bukan hanya tentang angka pajak, melainkan juga tentang relasi antara pemimpin dan rakyat. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (H.R. Abu Dawud, Abu Nu’aim, dan lainnya; dinilai hasan oleh sebagian ulama). 

Pelayan berarti melayani, bukan memerintah sesuka hati. Melayani dengan hati berarti mendengar, menjelaskan, dan mengajak rakyat berjalan bersama.

Pati memberi kita pelajaran sangat mahal. Bahwa kebijakan yang lahir tanpa sentuhan hati akan sulit diterima meski tujuannya baik. Sebaliknya, kebijakan yang tumbuh dari dialog, menghormati kearifan lokal, dan menyentuh rasa keadilan akan punya kekuatan yang jauh lebih besar. 

Tidak hanya membangun jalan dan jembatan, tetapi juga membangun jembatan hati antara pemimpin dan rakyatnya. Stay relevant! (*)

*) Bagus Suminar adalah wakil ketua ICMI Jatim dan dosen UHW Perbanas Surabaya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: