5 Fakta Menarik Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai, Terinspirasi Kejadian Nyata di Masa Silam

Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai. Horor kolonial penuh teror psikologis siap menghantui bioskop mulai 4 September 2025.--Instagram @menjelangmagrib2
HARIAN DISWAY - Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai akan mulai menghantui layar bioskop Indonesia mulai Kamis, 4 September 2025. Ia adalah sekuel Menjelang Magrib, yang lumayan laris pada 2022 lalu.
Namun, ia bukan lanjutan langsung dari kisah Thalia dan Erlan, yang melakukan penelitian pada penderita gangguan jiwa. Sutradara Helfi Kardit hanya mencuplik kesamaan temanya. Tapi membawa kisah Menjelang Magrib 2 pada dekade 1920-an. Ketika Indonesia saat masih di bawah cengkeraman pemerintah Hindia Belanda.
Film ini mengangkat praktik pemasungan yang menimpa orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), terutama perempuan. Pemasungan itu dilakukan berdasarkan kepercayaan lokal dan bertentangan dengan prinsip medis modern.
Dengan latar sejarah yang otentik, film itu tidak hanya menghadirkan horor visual. Tetapi juga merekam realitas sosial dan tradisi masyarakat pada masa itu.
BACA JUGA:Sinopsis Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai, Ketika Penderita Gangguan Jiwa Masih Dipasung
BACA JUGA:9 Film Horor Indonesia yang Tayang September, dari Sekte Sesat Hingga Ilmu Pengasihan Maut
Di balik cerita yang menegangkan, film yang dibintangi Aditya Zoni dan Mutia Datau itu menyimpan elemen-elemen seru yang jarang diangkat oleh film horor Indonesia. Yuk simak 5 fakta menarik Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai berikut ini.
1. Latar Sejarah yang Kuat dan Relevan
Menjelang Maghrib 2 mengajak penonton kembali ke era 1920-an, menampilkan kehidupan desa tradisional di bawah kolonial Belanda yang sarat konflik budaya.--Instagram @menjelangmagrib2
Menjelang Magrib 2: Wanita yang Dirantai membawa penonton menelusuri era 1920-an. Periode ketika Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda.
Helfi Kardit mengangkat realitas sosial dan praktik budaya yang terjadi pada masa itu. Salah satunya adalah pemasungan terhadap orang yang dianggap mengalami gangguan jiwa, terutama perempuan.
Mereka sering dipandang sebagai korban takdir atau penerima "kutukan" dalam kepercayaan lokal. Praktik yang bertentangan dengan prinsip medis modern dan hak asasi manusia itu memang pernah terjadi di masa lampau.
BACA JUGA:Sinopsis Film Panji Tengkorak, Hadirkan Kembali Kisah Pendekar Silat Ikonik
BACA JUGA:Profil 8 Para Pengisi Suara Panji Tengkorak
Bahkan, hingga 1990-an, di desa-desa pedalaman Indonesia, masih ada "orang gila" yang dipasung. Mereka takut warga dengan gangguan jiwa itu mengamuk atau melakukan hal-hal di luar nalar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: berbagai sumber