Kurir di Bekasi Dibacok gegara Sistem Bayar: Ada Paket… Bres… Bres…

ILUSTRASI Kurir di Bekasi Dibacok gegara Sistem Bayar: Ada Paket… Bres… Bres…-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Jika seandainya korteks itu memutuskan, lawan… di sinilah sinyal dikirim ke seluruh tubuh.
Bentuknya beragam. Bisa berbicara kencang, mata melotot, atau memaki, atau membanting barang di dekatnya, atau menyerang orang yang membuatnya kecewa. Serangannya bisa kata-kata, bisa fisik. Beragam.
Sebagian besar manusia (pria-wanita) punya korteks yang kuat. Rasional, realistis, logis, kalkulatif antara hasil dan risiko, serta dikaitkan dengan pertimbangan sosial (pantas-tidak pantas). Semua itu, sejak awal kejadian, diproses otak dalam satu-dua detik. Maha Besar Allah pencipta segalanya.
Pada orang yang korteksnya tidak kuat atau lemah dalam mengambil keputusan, menghasilkan perintah korteks: lawan. Bahkan, bisa juga: lawan dengan keras.
Hasil keputusan itulah kemarahan. Bisa wajar, bisa meluap-luap.
Riset menunjukkan bahwa kemarahan dapat membuat kita lebih impulsif dan meremehkan kemungkinan dampak buruk yang bisa terjadi setelahnya. Atau, kalkulasinya tidak akurat.
Riset menunjukkan bahwa semua orang yang marah cenderung mencari seseorang untuk disalahkan. Itu membuat orang yang marah jadi makin marah terhadap orang atau kelompok yang dirasa menyinggung perasaan. Contoh, ada perkelahian, ada pelerai. Si pelerai, karena ingin menghentikan perkelahian, menghardik salah satunya. Terjadilah perkelahian baru.
Apakah marah bermanfaat? Kemarahan dipandang negatif sepanjang sejarah. Di Romawi kuno, Seneca (filsuf Romawi kuno) menyatakan, kemarahan ”tidak berguna, bahkan untuk perang”.
Apakah pria lebih pemarah daripada wanita? Jawabnya, sepanjang sejarah manusia, umumnya pria lebih pemarah daripada wanita. Simak uraian berikut ini:
Hasil penelitian neurologi menunjukkan, dimensi pada amigdala pria-wanita sama besar. Dimensi dan volume sama. Namun, dimensi korteks frontal orbital wanita lebih besar daripada pria.
Dari situ disimpulkan, dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak memenuhi harapan, pria-wanita bisa sama-sama kecewa. Kadar kecewanya sama atau setara.
Kekecewaan kemudian diproses di korteks. Lalu korteks memutuskan pilihan. Pada wanita dengan dimensi korteks lebih besar, menghasilkan keputusan: abaikan. Sebaliknya, pada pria: lawan.
Riset oleh ilmuwan di Southwest Missouri State University, Amerika Serikat (AS), yang menyurvei sekitar 200 pria dan wanita, menunjukkan bahwa wanita sama marahnya dan bertindak atas kemarahan mereka sesering pria.
Perbedaan utamanya, pria merasa kurang efektif ketika dipaksa untuk menahan amarah. Sementara itu, wanita lebih mampu mengendalikan respons impulsif langsung terhadap kemarahan.
Beberapa pihak berpendapat bahwa perbedaan gender itu berakar pada perbedaan mendasar dalam biologi otak. Pendapat ilmuwan tersebut dikuatkan oleh hasil riset berikut ini:
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: