Bayi Tua PPP

ILUSTRASI Bayi Tua PPP.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BAYI itu tampaknya masih akan tetap menjadi bayi. Meski usianya sudah tua. Itulah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang baru menggelar muktamar ke-10 di Jakarta. muktamar yang melahirkan klaim dua kepemimpinan: Agus Suparmanto dan Muhamad Mardiono.
Lho kok bisa? Dalam dunia perkembangan anak, bayi yang tidak bisa berkembang menjadi besar disebut stunting. Bisa saja secara umur telah dewasa. Namun, secara fisik tidak besar karena salah asuh atau kekurangan asupan gizi.
PPP adalah salah satu partai tua. Ia lahir bukan dari rahim demokrasi. Bukan dari rahim umat atau masyarakat politik. Namun, lahir dari hasil kawin paksa empat partai Islam: NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Yang mengawinkan secara paksa adalah rezim pemerintahan Presiden Soeharto.
BACA JUGA:Yusril: Pemerintah Tak Akan Sahkan Pengurusan PPP Jika Masih Terjadi Konflik Internal
BACA JUGA:Muktamar X PPP Tetapkan Agus Suparmanto sebagai Ketua Umum Partai Secara Aklamasi
Karena dipaksa kawin, bukan cinta yang tumbuh. Karena kawin paksa, ia hidup selalu dalam konflik dan berada dalam tekanan. Ternyata tak terjadi hanya di zaman Orde Baru. Tapi juga setelah reformasi politik yang ditandai jatuhnya rezim Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa.
Konflik terus mewarnai partai itu. Malah, di zaman reformasi, PPP terkahir tak bisa menempatkan orangnya di DPR RI. Dalam Pemilu 2024, suaranya tak mememuhi parliamentary treshold. Batas minimal untuk bisa mendudukkan wakilnya di lembaga legislatif. Itu terjadi saat PPP dipimpin Mardiono.
Padahal, di zaman Orde Baru –di tengah tekanan yang dahsyat dari penguasa– ia pernah mencatatkan sejarah sebagai partai yang merepresentasikan perjuangan umat Islam. Apa itu?
BACA JUGA:Muktamar PPP X Ricuh, Sejumlah Kader Luka-Luka hingga Dilarikan ke Rumah Sakit
BACA JUGA:Muktamar X PPP: Romi Bantah Mardiono Terpilih Jadi Ketua Umum Secara Aklamasi
Melakukan aksi walk out dari sidang MPR ketika agama dipandang sejajar dengan ”aliran kepercayaan”. Itu simbol bahwa di balik tekanan, PPP masih menyimpan nyali sebagai penanda politik Islam.
Saya punya kenangan khusus dari partai ini. Kakek saya yang menjadi aparat desa pernah meringkuk di koramil tiga hari karena ketahuan menghadiri kampanye PPP. Orang tua saya yang PNS –sekarang ASN– hampir saja dipecat karena saya kecil ikut membantu tetangga membikin baliho gambar Ka’bah.
Saya kecil yang hidup di lingkungan santri memang senang dengan hura-hura politik. Saya sering ikut tetangga menonton kampanye PPP. Pernah suatu saat menyaksikan kampanye yang dihadiri jurkam kondang KH Mahrus Aly, pimpinan Ponpes Lirboyo.
Ketika kampanye hendak dimulai, mendung gelap menggelayut di atas lapangan di dekat Kota Blitar. Sebelum berpidato, beliau meminta ribuan orang yang hadir berdoa. Saya ingat doa singkat itu sampai sekarang. Setelah doa selesai, perlahan mendung yang nyaris menumpahkan air ke bumi itu hilang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: