Bayi Tua PPP
ILUSTRASI Bayi Tua PPP.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Desa saya juga menjadi korban politik masa itu. Sampai akhir 1980-an tempat kelahiran saya itu tak dialiri listrik. Padahal, di desa itu ada PLTA (pembangkit listrik tenaga air) yang memasok listrik sampai ke Bali. Itu gara-gara di desa itu Golkar tak pernah bisa mengalahkan PPP.
Namun, pada suatu saat, PPP bisa berjaya di DKI Jakarta. Ia menjadi pemenang di ibu kota. Mengalahkan Golkar dan PDI (bukan P). Di zaman Orde Baru. Di Era Reformasi, suara PPP tergerus setelah NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa. Sampai pemilu terakhir, gagal menempatkan kadernya di parlemen.
Banyak yang berharap, setelah gagal masuk parlemen, partai itu melakukan konsolidasi. Ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Muktamar sebagai forum tertinggi partai malah melahirkan dualisme kepemimpinan. Setelah diwarnai bentrokan di arena muktamar, dua kubu saling mengeklaim sebagai ketua umum yang sah.
Murdiono adalah orang yang semestinya bertangggung jawab terhadap kekalahan telak PPP dalam pemilu terakhir. Namun, sosok lain yang muncul dan mengeklaim terpilih di muktamar juga bukan politikus yang sudah populer. Tiba-tiba saja muncul.
Agus Suparmanto adalah menteri perdagangan RI di awal pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo. Diusulkan oleh PKB. Tapi, hanya sebentar. Sekitar satu tahun. Apakah ia orang PKB yang disusupkan ke PPP? Wallahu a’lam.
Yang menarik, begitu terpilih, ia sudah menyatakan akan mendorong partai itu untuk menjadi koalisi pemerintah. Caranya bagaimana? Kita semua tidak tahu. Apakah itu hanya strategi dalam menghadapi dualisme kepemimpinan dengan klaim Ketum Mardiono?
Yang pasti, melihat dinamika PPP tersebut, kini sulit berharap agar partai itu bisa kembali menjadi wadah aspirasi umat Islam. Ia mungkin hanya akan menjadi ”bayi tua” yang sulit untuk bisa lolos kembali ke gedung DPR di Senayan. Seperti halnya PBB pimpinan Yusril Ihza Mahendra.
Muktamar tak lagi menyuntikkan legitimasi baru bagi keberadaan partai tersebut. Hasilnya justru mencerminkan adanya krisis legitimasi dan relevansi partai hijau tersebut. Itu jelas menambah deretan pukulan telak bagi partai tua tersebut. Alih-alih untuk bisa bangkit kembali.
Akankah PPP menyusul PBB –yang juga partai Islam– sebagai partai yang hanya menjadi tunggangan pimpinannya untuk masuk koalisi pemerintahan? Kalau itu yang terjadi, sungguh tragis nasib politik umat dalam Era Reformasi ini. Atau memang umat tak bisa menjadi ibu kandung dari bayi partai di era baru ini.
Rasanya penting memunculkan ibu kandung baru bagi bayi partai yang betul-betul lahir alami dari aspirasi kelompok masyarakat politik. Atau, memang bangsa ini sudah terlalu tua untuk mengandung janin baru yang alami? Sehingga yang lahir selalu bayi tabung yang spermanya tak jelas asal-muasalnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: