K-Pop dan Masifnya Setan Kapitalisasi Budaya Korea

K-Pop dan Masifnya Setan Kapitalisasi Budaya Korea

ILUSTRASI K-Pop dan Masifnya Setan Kapitalisasi Budaya Korea.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kritik para akademikus budaya sebenarnya menyoroti bagaimana industri budaya bekerja layaknya pabrik. Industri budaya simpelnya berhasil dengan formula membakukan (standardize) dan membius (pacify) khalayak. 

K-pop menjadi contoh gamblang. Lagu-lagunya diramu dengan pancingan yang mudah melekat di telinga, ditopang koreografi sinkron yang nyaris sempurna, serta dipersonalisasi dengan citra idol yang dikemas rapi. 

Uniknya, sadar atau tidak sekilas setiap grup idol tampak berbeda. Akan tetapi, itu hanyalah ilusi keunikan (pseudo-individuality) yang disusun untuk membuat konsumen merasa mendapat variasi. 

Padahal, sekali lagi, semua berasal dari cetakan seragam: sistem trainee panjang, kurikulum latihan yang keras, hingga manajemen citra yang sepenuhnya dikontrol agensi.

Logika menundukkan budaya dalam sistem kapitalisme berdampak sangat besar. Budaya akan kehilangan otonominya sebagai ekspresi seni yang kritis dan membebaskan. Akan jamak budaya direduksi menjadi sekadar komoditas pasif yang menopang dominasi kapital. 

Proses kreatif yang seharusnya merayakan kebaruan justru diarahkan untuk memastikan keberlanjutan profit. Penonton diposisikan bukan sebagai subjek yang bebas menginterpretasi, melainkan konsumen setia yang terus dibujuk membeli album, menonton konser, dan mengoleksi merchandise

DEHUMANISASI DALAM GEMERLAPNYA HALLYU

Efek dari kapitalisasi budaya itu tidak berhenti pada produk, tetapi tentu merembes hingga ke manusia yang terlibat. Mari kita selalu soroti jeleknya sistem trainee yang keras, kontrak eksklusif yang membelenggu, dan tekanan mental yang ekstrem adalah sisi gelap dari industri budaya itu. 

Para idol dipandang bukan lagi sebagai seniman dengan jiwa merdeka, melainkan investasi yang harus memberikan keuntungan sebesar-besarnya. Mereka diwajibkan menjadi roda gigi dalam mesin raksasa bernama hallyu. 

Tentu industri budaya semacam itu sangat mengerikan. Ketika budaya diperlakukan sebagai komoditas, manusia pun dengan mudah direduksi menjadi bagian dari rantai barang dagangan. 

Contoh yang paling jelas adalah kasus ”slave contract” yang sempat mencuat pada awal 2010-an, ketika sejumlah artis menggugat agensinya karena kontrak tidak adil yang mengikat mereka hingga belasan tahun. 

Dalam logika kapital, tubuh, suara, bahkan kehidupan pribadi para idol dihitung sebagai modal yang harus dioptimalkan untuk mendatangkan keuntungan.

Tidak sedikit pula kisah tragis yang memperlihatkan betapa mahal harga di balik gemerlap panggung. Tekanan untuk tampil sempurna membuat banyak idol mengalami depresi, gangguan makan, hingga bunuh diri. 

Nama-nama seperti Jonghyun dari SHINee atau Sulli dari f(x) menjadi pengingat bahwa kapitalisasi budaya memiliki konsekuensi nyata pada kesehatan mental para pelaku. Bukannya dilindungi, mereka justru dituntut untuk terus produktif demi menjaga citra industri. 

Fans memang sering kali hanya melihat sisi glamor musik yang adiktif, koreografi memukau, atau konser megah. Realitasnya, ada individu yang terjebak dalam sistem yang menguras tenaga dan jiwa. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: