K-Pop dan Masifnya Setan Kapitalisasi Budaya Korea

K-Pop dan Masifnya Setan Kapitalisasi Budaya Korea

ILUSTRASI K-Pop dan Masifnya Setan Kapitalisasi Budaya Korea.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Hallyu dapat disimpulkan tidak hanya memproduksi hiburan massal, tetapi juga melanggengkan struktur yang menempatkan manusia sebagai instrumen ekonomi semata.

LANTAS, APA YANG BISA KITA PELAJARI?

Bagi Indonesia, fenomena itu seharusnya menjadi cermin untuk mawas diri. Kita tentu punya ambisi agar gamelan, batik, wayang, atau bahkan musik kontemporer lokal bisa mendunia. Ambisi sebagus itu tidak boleh menjerumuskan kita pada peniruan buta terhadap resep industri budaya Korea. 

Kapitalisasi budaya memang menjanjikan devisa dan gengsi, tetapi jika dilepaskan begitu saja tanpa kritik, itu bisa mereduksi kebudayaan kita yang kaya menjadi sekadar barang dagangan. 

Nilai sakral, sejarah panjang, hingga makna filosofis yang terkandung dalam karya-karya budaya bisa hilang demi mengeruk keuntungan. Tentu kita tidak boleh membiarkan budaya hanya menjadi komoditas yang viral sekejap, lalu habis daya maknanya.

Indonesia perlu menempuh jalan yang lebih berkelanjutan, humanis, dan menjaga autentisitas. 

Strategi globalisasi budaya bisa diupayakan dengan cara memperkuat ekosistem seniman lokal, menyediakan perlindungan hukum dan sosial bagi pekerja kreatif, serta membangun industri yang menghormati manusia di balik karya. 

Budaya harus tetap menjadi ruang makna, tempat masyarakat menemukan jati diri sekaligus ikut andil meramaikan tren budaya global. 

Dengan begitu, ketika budaya Indonesia tampil di panggung dunia tidak sekadar hadir sebagai komoditas instan, tetapi sebagai representasi nilai, pengalaman, dan kreativitas yang benar-benar lahir dari rahim masyarakatnya sendiri.

Pada akhirnya, kita boleh tetap memandang bahwa hallyu contoh sukses pengembangan suatu budaya bisa terglobalisasi. Meski demikian, kita tidak boleh menutup mata adanya sisi gelap yang selalu menghantui hallyu. 

Sebagai penggemar atau fans K-pop, tentu kita harus berani bersuara melawan dehumanisasi maupun culture toxic yang masih melekat sampai sekarang. 

Sebagai akademikus budaya, tentu kita harus sangat mewanti-wanti agar sisi gelap formula industri budaya pada K-pop tidak direplikasi pada budaya Indonesia. (*)


*) Ilham Baskoro adalah mahasiswa fastrack magister kajian sastra dan budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: