Jothakan Bupati

ILUSTRASI Jothakan Bupati.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Bupati Adil Di-OTT, Dulu Ia Penegak Keadilan
Secara undang-undang, wakil baru bisa menggenggam kewenangan ketika mereka menggantikan kepala daerah dalam situasi khusus. Situasi khusus itu saat kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau kepala daerah berhalangan sementara. Karena itulah, ada yang saling lapor KPK dan aparat hukum.
Situasinya menjadi lebih rumit kalau pasangan itu hasil koalisi. Apalagi, wakilnya diusung partai penguasa. Dengan begitu, secara psikologis, wakilnya merasa memiliki basis politik lebih kuat ketimbang kepalanya. Apalagi, wakilnya dibebani biaya yang besar ketika menuju panggung bersama.
Jadi, ada ketimpangan antara proses politik dan kewenangan yang diperoleh pasangan kepala daerah. Sering kali, wakilnya merasa berperan besar dalam proses politik, tapi tak mendapatkan porsi yang cukup ketika sudah memimpin kota maupun kabupaten. Di sinilah kematangan kepala daerah dalam berbagi menjadi ujian.
Dalam wawancara siniar Ngopi Politik yang segera tayang, ahli komunikasi politik Unair Suko Widodo punya kacamata lain. Meski secara aturan dan kelembagaan seperti itu, dalam kenyataannya, ada pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang akur. Bisa berbagi dan saling mengisi sampai akhir masa jabatan mereka.
Ia mencontohkan relasi Soekarwo dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) saat menjadi gubernur dan wakil gubernur Jatim dua periode. Juga, Bambang D.H. dan Arif Afandi (saya mendengarnya sambil tersipu, he…he…) saat menjadi wali kota dan wakil wali kota Surabaya. ”Ini bisa terjadi karena mereka punya kompetensi dan kematangan dalam komunikasi politik,” ungkapnya.
Ia lantas mengusulkan partai politik untuk menyaring bakal calon kepala dan wakil kepala daerah secara lebih serius. Tidak sekadar menghitung menang-kalah. Tapi, juga menguji terlebih dulu soliditas bakal calonnya dalam kepemimpinan bersama. Sebab, kata dia, kalau pecah kongsi setelah terpilih, yang dirugikan adalah rakyat.
Kalau ditelusuri, memang ada bawaan sistem dan bawaan perasaan dalam fenomena jothakan antara kepala daerah dan wakilnya. Konflik keduanya bukan sekadar drama personal, tapi juga soal sistem politik dan desain kelembagaan. Kedua sumber masalahnya itu yang perlu diselesaikan.
Bawaan perasaan bisa dengan cara mematangkan kompetensi komunikasi politik para bakal calon kepala daerah. Sedangkan bawaan sistem bisa menjadi pekerjaan rumah partai politik dan elite negara untuk menyusun desain baru hubungan kepala dan wakil kepala daerah. Tanpa itu, jothakan akan selalu siap meledak kapan saja.
Publik perlu kritis dan ikut mendorong solusi. Bukan cuma nonton kayak sinetron. Paling tidak lebih hati-hati dalam memilih pasangan kepala daerah. Menelusuri jejaknya, mendalami kematangan berpolitiknya, dan menelisik karakter personalnya. Jangan sampai menyesal kemudian.
Masak kita mau terus-terusan disuguhi drama dari duit pajak yang kita bayarkan bersama. Piye menurut sampean? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: