Jothakan Bupati

Jothakan Bupati

ILUSTRASI Jothakan Bupati.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

MESKI pemilihan kepala daerah sudah berlangsung 20 tahun, fenomena gegeran antara kepala daerah dan wakilnya tetap saja terjadi. Terakhir, yang mencuat di permukaan adalah Kabupaten Jember dan Sidoarjo.

Kita seperti disuguhi adegan sinetron. Waktu kampanye mesra, begitu dilantik langsung berubah menjadi drama rebutan peran utama. Mereka saling sindir di media, tak saling sapa. Ada juga yang seperti band bubar di saat tur albumnya. 

Di Jember dan Sidoarjo, sampean pasti sudah banyak tahu peristiwanya. Sebab, sudah menjadi rahasia umum. Kabarnya tersebar di media massa, media sosial, dan bisik-bisik politik. Malah yang di Jember, bupati dan wakil bupatinya sudah seperti ”talak tiga” sebelum keduanya dilantik jadi kepala daerah.

BACA JUGA:Kepala Daerah dan Wakilnya: Dari Duet ke Duel

BACA JUGA:Mimpi Bupati Sidoarjo Subandi untuk Daerahnya

Ada juga yang meledak menjadi kerusuhan maupun konflik horizontal. Konon, kerusuhan Pati yang terjadi sebelum kerusuhan nasional di akhir Agustus 2025 juga ada faktor hubungan bupati dan wakilnya yang tak harmonis. Bupati dan wakilnya merupakan pimpinan dari masing-masing partai koalisi. 

Semua itu menambah daftar panjang gegeran pasangan kepala daerah sejak pilkada langsung dilaksanakan pertengahan tahun 2000-an. Hubungan kepala daerah dan wakilnya seperti sinetron: awalnya mesra, akhirnya saling lempar kursi. Bahkan, ada yang saling lapor ke KPK atau aparat hukum.

Lah…, bayangkan! Kalau belum bekerja saja sudah jothakan alias gegeran, kapan mereka memikirkan rakyat yang memilihnya. Ibarat rumah tangga baru, mereka sudah pisah ranjang begitu usai akad nikah. Lah, bagaimana akan menghasilkan anak? Kapan akan meninggalkan legasi atau warisan dalam pemerintahannya?

BACA JUGA:Bupati Panci Israel

BACA JUGA:Bupati Kancil

Memang sejak dulu panggung untuk kepala dan wakil kepala daerah tak pernah cocok untuk duet pasangan. Tak sinkron antara proses menuju panggung dengan peran mereka saat di panggung. Proses audisinya sama-sama harus kerja keras. Namun, skenario cerita di panggungnya tak imbang.

Proses politik untuk menjadi kepala dan wakil kepala daerah sama. Keduanya harus diusung partai politik. Bisa sesama parpol, bisa oleh parpol yang berlainan. Bisa satu parpol, bisa koalisi beberapa parpol. Untuk memenangkan pemilu, keduanya harus saling menopang dalam menggaet suara. Baik dalam kegiatan maupun biaya. 

Nah, ketika menang dan menjadi kepala dan wakil kepala daerah, kewenangannya tak sama. Bahkan njomplang. Semuanya bertumpu kepada kepala daerah. Sebaliknya, wakil tidak memiliki kewenangan sendiri untuk membuat keputusan utama seperti menetapkan perda, APBD, atau keputusan strategis lain. 

BACA JUGA:OTT Bupati Bogor dalam Teori CMDA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: