Humanity Above All: Saat Perth Berdiri untuk Palestina

ILUSTRASI Humanity Above All: Saat Perth Berdiri untuk Palestina.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Konsistensi Dukungan ke Palestina, Quo Vadis?
Setiap bom yang jatuh di Gaza tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga melukai nurani umat manusia. Ribuan anak kehilangan orang tuanya. Rumah sakit hancur. Sekolah berubah jadi puing.
Tapi, mungkin yang paling menyakitkan bukan ledakannya, melainkan keheningan dunia yang membiarkan itu terjadi.
Dan mungkin, aksi yang saya lihat di Perth (dan di beberapa negara yang semula tidak pro-Palestina) adalah bentuk perlawanan terhadap keheningan itu. Rakyat biasa bersuara ketika banyak pemimpin dunia memilih diam. Mereka yang tidak punya jabatan justru yang menjaga suara hati manusia tetap hidup.
BACA JUGA:Spirit Haji untuk Pembebasan Palestina
BACA JUGA:Palestina, Satu-satunya Negara yang Masih Terjajah
Kita melihat sedikit cahaya di tengah gelapnya situasi ketika Sidang Umum PBB baru-baru ini digelar. Di forum itu, mayoritas negara anggota PBB mendukung solusi dua negara (two-state solution), yakni mengakui Palestina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, berdampingan dengan Israel secara damai.
Indonesia, lewat pernyataan tegas Presiden Prabowo Subianto, menyampaikan pandangan yang berani dan bermartabat: perdamaian sejati tidak akan lahir tanpa keadilan dan dunia tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Pernyataan itu bukan hanya diplomasi, melainkan juga cermin posisi moral bangsa ini. Kita tetap berpihak pada kemanusiaan, pada keadilan universal yang tak bisa dinegosiasikan.
BACA JUGA:Siapa Pengkhianat Bangsa Palestina?
Saya bangga mendengar suara Indonesia bergema di panggung dunia, tidak untuk menyerang, tetapi untuk mengingatkan dunia bahwa perdamaian tanpa nurani hanyalah kata kosong.
Kembali ke jalanan Perth, saya melihat wajah-wajah yang tidak marah, tetapi pedih. Ada aktivis lingkungan yang memegang bendera Palestina berdampingan dengan pekerja konstruksi yang memakai rompi lusuh.
Ada nenek-nenek dengan topi jerami, berdiri bersama mahasiswa yang baru beranjak dewasa. Semua berbeda, tetapi disatukan oleh rasa yang sama: empati.
Australia, yang jauh dari Gaza secara geografis, terasa sangat dekat secara moral hari itu. Di antara gedung-gedung kaca dan pohon yang mulai rontok daunnya, suara manusia bergema lebih keras daripada kebisuan politik.
Tidak ada pidato panjang, tapi ada kebenaran yang hidup di sana –bahwa diam bukan pilihan ketika manusia lain sedang mati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: