Memaknai Pidato ”Braveheart” sang Presiden

Memaknai Pidato ”Braveheart” sang Presiden

ILUSTRASI Memaknai Pidato ”Braveheart” sang Presiden.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kontra-hegemoni tidak berarti menolak realitas kekuatan sama sekali, tetapi menegaskan bahwa kekuatan hanyalah sah jika dipandu oleh nilai moral dan kemanusiaan.

”BRAVEHEART” SANG PRESIDEN

Dalam lakon film Braveheart (1995), William Wallace yang diperankan Mel Gibson mengisahkan bagaimana perjuangan melawan ketidakadilan, bermula dari berjuang seorang diri hingga mendapatkan dukungan dari kaumnya. 

Film itu mengambil latar belakang cerita penindasan kerajaan Inggris (Longshanks) abad ke-13 ke rakyat Skotlandia. 

Tiga pesan moral dari film tersebut, yang dapat kita refleksikan dalam konteks pidato sang presiden adalah, pertama, kepemimpinan melalui teladan dan keberanian. Yakni, memilih untuk bertindak meski dengan risiko tinggi. 

Kedua, membangun persatuan dan solidaritas rakyat (baca: negara) kecil. Yaitu, agar perlawanan bisa berhasil, harus ada kesadaran bahwa perjuangan bukan milik satu orang (negara), melainkan milik bersama. 

Ketiga, inti kemerdekaan, keadilan, dan martabat manusia. Tidak adil jika suatu bangsa menindas bangsa lain dan manusia punya hak atas kebebasan dasar.           

Tiga kandungan refleksi moral tersebut sejatinya dapat kita sematkan pada kalimat ”right must be right”. Yang dapat kita maknai bersama sebagai seruan untuk mengembalikan etika sebagai nilai ke dalam jantung politik global. 

Untuk itu, dalam konteks Palestina, keberanian moral justru menjadi kebutuhan utama. Dunia tidak hanya membutuhkan strategi diplomatik, tetapi juga pemimpin yang berani berkata: ada hal-hal yang salah meski didukung kekuatan dan ada hal-hal yang benar meski lemah.

Semoga, pidato tersebut tidak hanya menjadi semacam mantra etis yang menantang kita semua –baik pemimpin negara maupun warga biasa– untuk tidak menyerah pada logika kekuatan dan kekuasaan semata. 

Namun, setidaknya, kita (dunia) kembali teringatkan, bahwa kebenaran tidak bisa ditawar. Sebab, pada akhirnya kekuatan bisa memudar dan kebenaranlah yang akan abadi. Sungguh sebuah pidato yang membanggakan dan saya pun ikut angkat topi untuk sang presiden. (*)

*) Imam Sofyan adalah dosen komunikasi politik, FISIB, Universitas Trunojoyo Madura (UTM) dan mahasiswa S-3 ilmu sosial, Universitas Airlangga. 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: